Mohon tunggu...
Atep Afia Hidayat
Atep Afia Hidayat Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati sumberdaya manusia dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tebar Pesona Yuk !

27 Juni 2011   22:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:07 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Atep Afia Hidayat - Pesona itu muncul begitu lugas, spontan, dan tidak dibuat-buat. Terpikat, tertarik hingga terpedaya. Bahkan, muncul seketika, dalam situasi dan kondisi kejiwaan yang tertentu. Lantas, bisakah pesona itu diciptakan dan dikelola? Masih wajarkah atau murnikah? Serta, apakah menimbulkan kesan mendalam yang masih lugas?

Setiap pribadi manusia bisa memacarkan pesona ! Bagaikan energi potensial yang terkandung dalam derasnya aliran sungai, yang mampu memutarkan turbin, dan pada akhirnya mampu menyalakan lampu dengan terang benderang. Di dalam pribadi manusia terkandung energi potensial, tetapi tidak begitu banyak orang yang mampu memutarkan turbin, hingga “menyalakan” kepribadiannya. Ternyata, kepribadian seseorang itu bisa menyala, atau sebaliknya padam sama sekali. Itulah pesona yang timbul dan tenggelam.

Orang dengan kepribadian yang “tak menyala” dicirikan dengan terbelakangnya pola human relation yang dijalaninya. Hanya dikenali oleh sedikit orang, dan yang jelas orang tersebut tak memiliki kawan yang banyak. Lingkungannya sangat terbatas, karena ia sangat membatasi diri, atau individualis. Seolah menjalani hidup dalam kerangkeng, geraknya terbatas, bicaranya tak lepas dan perasaannya seolah dibebani sedemikian rupa, hingga nafas psikologisnya terserang asma yang kronis.

Dengan demikian, pesonanya tak muncul, maka sedikit sekali orang lain yang tertarik dengannya. Ia sebenarnya memiliki energi potensial, tetapi tidak didaya-gunakan, hingga “lampu-lampu kepribadiannya” tidak menyala.

Siapapun bisa memunculkan pesonanya, asalkan energi potensial digali sedemikian rupa, hingga mampu memutarkan turbin dan menyatalakn lampu-lampu kepribadiannya. Membuat dunia menjadi berseri dan cerita, karena daya tariknya dan pesonanya. Siapapun lebih menyukai tawa daripada tangis, lebih menyukai raut wajah yang berseri daripada yang cemberut. Karena didalam tawa dan ceria terdapat pesona. Pesonaitu mampu menghangatkan jiwa, hingga mampu berinetraksi dengan jiwa lainnya secara intensif.

Dalam jiwa yang dingin dan membeku, terdapat kekakuan yang tak mampu menghangatkan suasana. Tegang, bahkan stres karena kebekuan. Di mana didalamnya terdapat sumber penyakit, yang bahkan bisa menimbulkan gangguan terhadap aktivitas fisik. Lantas, buat apa mempertahankan jiwa dalam kebekuan?

Ketika seseorang mulai terjaga dari tidurnya, lantas muncul satu-dua, sepuluh-dua puluh, atau seratus dua ratus manusia lain disekitarnya. Manusia lain itu “memperhatikan”, “memeprhitungkan”, bahkan “menafsirkan”, baik secara langsung atau tidak. Mulai dari raut wajah, sikap, penampilan, ucapan, dan yang lainnya.

Dengan demikian, setiap individu, tiap harinya selalu dikerubuti “wartawan” atau “fotografer” atau “reporter”. Sosok seseorang difoto dalam memori orang lainnya. Prosesnya begitu unik dan sangat spesifik. Terdapat pengindentifikasian, pengklasifikasian, dan penilaian, apakah seseorang itu tergolong pada manusia yang memancarkan pesona atau tidak ?

Pesona itu tidak bisa dibuat-buat, tetapi bisa diciptakan. Contoh paling sederhana, tersenyumlah pada siapa saja, sapalah setiap orang, dengan tulus, ikhlas dan spontan. Sebagian besar orang yang dijumpai tersebut niscaya bakal terpesona, dan memberikan umpan balik.

Perhatikanlah orang lain, niscaya mereka pun akan memperhatikan kita. Berusahalah untuk mengetahui nama orang yang baru kita jumpai, niscaya mereka pun akan mencari tahu siapa nama kita. Bukanlah hal tersebut termasuk pada “proyek menebar pesona”.

Pesona itu bagaikan nyala api, yang mampu membakar, menyala kecil, atau padam sama sekali. Nyala api memerlukan bahan untuk membakar, umpamanya kayu dan oksigennya. Sedangkan bahan-bahan pada pesona adalah jiwa, oksigennya tak lain dari “suasana” yang bisa dikelola, sebagaimana oksigen dikondisikan untuk membantu membesarnya nyala api. Oksigen bisa dihadirkan atau dihampakan, begitu pula “suasana” atau “atmosfir kejiawaan”. Jiwa yang dinamis, senantiasa menghadirkan, mewarnai dan mengarahkan suasana. Pesona tersebut tak lain muncul dari kondisi jiwa yang dinamis.

Inti kehidupan terletak pada jiwa. Kehidupan menyangkut antara manusia. Interaksi itu bisa dikondisikan sedemikian rupa, sehingga pesonanya bisa dimunculkan. Ketika dua orang tengah bercakap-cakap atau bertegur sapa, salah seorang di antaranya memiliki bargaining position (posisi tawar-menawar) yang lebih baik. Orang yang memiliki posisi tawar-menawar yang lebih baik tersebut, tak lain dari orang yang memiliki pesona yang lebih tinggi.

Jiwa manusia begitu peka, sangat aktif dan responsif. Sifatnya lebih reaktif daripada keberadaan api disekitar bahan bakar. Ternyata, jiwa manusia jauh lebih mudah untuk terbakar. Kepekaan jiwa manusia tersebut bisa diuji dengan bahasa verbal dan non-verbal. Misalnya dengan senyuman, maka mau tak mau orang yang diberi senyuman itu akan segera memberikan respon, yakni tersenyum kembali. Senyum merupakan salah satu bentuk pesona. Bentuk-bentuk pesona lainnya begitu banyak, lantas, kenapa kita tidak dengan royal, membagi-bagikannya secara gratis! Tebar pesona yuk ! (Atep Afia, pengelola Pantonanews.com )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun