Aku melihat orang dalam jumlah besar bergerak ke arah bandara. Mereka ingin menjemput seseorang yang akan memimpin revolusi di negeri ini. Banyak dari mereka mengantri di pintu masuk. Ratusan mobil dan ribuan motor pun diparkir di jalan tol sepanjang tujuh kilo meter.
Aku senang melihat antusiasme mereka. Seorang pemimpin yang baik layak disambut dengan mulia. Pemimpin yang mereka sambut memiliki ide dan ajaran yang cemerlang. Ya, wajarlah jika massa yang datang membeludak.
Aku kembali menyeruput kopi di teras rumah. Ribuan kendaraan bergerak secara perlahan menuju bandara. Ribuan massa kompak mengenakan pakaian putih mewarnai ibu kota yang saat ini coklat kehitaman akibat banjir. Aku tetap setia pada hitamnya kopi yang telah kuteguk setengah gelas.
Pikiranku kembali ke halaman parkir bandara. Petugas parkir pasti kewalahan mengatur parkiran. Pengendara yang dewasa mengikuti arahan dengan baik. Namun, cacian dan makian akan diterimanya saat arahannya tidak diterima oleh mereka.
"Kasihan si tukang parkir."
Petugas yang mengatur karcis masuk kendaraan juga lebih menderita. Akan terjadi antrian panjang kendaraan entah roda dua atau empat. Teriakan, ludahan serta bel kendaraan yang protes terhadap pelayanan, pasti tak terelakan.
"Sial! Lama banget tahu! Cepatan! Kelamaan ni," demikian situasi jika dibayangkan.
Orang-orang dari pelosok daerah berhamburan di area bandara. Aku mengapresiasi militansi mereka. Domba membutuhkan seorang gembala. Gembala menjadi penjaga buat domba-dombanya. Jika ada domba yang hilang, gembala akan mencarinya.
"Ah, sabar dulu! Dalam peristiwa hari ini, siapa domba dan siapa gembala? Biasanya seorang gembala mencari, menjemput, dan menemukan domba yang hilang. Dia meninggalkan ribuan domba guna mencari satu yang hilang. Kok, ada yang berbeda dari lautan massa di bandara hari ini."
Gembala hilang dijemput ribuan domba. Aku bingung mana gembala dan mana domba. Domba bertindak sebagai gembala dan domba itu sendiri. Ah, aku jadi bingung memikirkan itu. Aku meneguk kopi yang mulai kehilangan rasa panas.
Hampir tiga jam aku duduk di teras rumah. Gerimis menambah syahdu suasana ibu kota. Mataku masih terpaku pada ribuan kendaraan di jalanan. Aku sempat berpikir nakal mereka sedang merayakan kemenangan Joe Biden menjadi Presiden Amerika ke-46.