Pilkada kali ini merupakan panggung demokrasi milik Kaum Milenial. Tentu ada keistimewaan di balik pernyataan ini. Kaum milenial mengambil lakon penting ketika korona memaksa penyelenggara pemilu membuat tata aturan dalam proses kampanye.
Generasi sebelum kaum milenial atau lebih enak disebut kaum tua-tua, yang mencakup emak-emak dan bapak-bapak, diminta untuk "mengerem" suara dalam sosialisasi visi misi secara langsung di tengah pandemi. Bila perlu kaum tua-tua memakai masker agar tidak terserang penyakit dan atau lebih baik tinggal di rumah aja.
Mengapa kaum milenial perlu didukung agar mendapat panggung dalam pilkada kali ini? Tidakkah kebanyakan dari mereka yang mencalonkan diri datang dari generasi tua-tua? Apapun alasannya, situasi memberi peluang bagi kaum milenial untuk bersuara di panggung demokrasi saat ini. Kaum tua-tua, jangan pernah berpimpi untuk menang jika tidak mampu memberi ruang bagi mereka, kaum milenial.
Lantas, bagaimana kaum milenial bermain di atas panggung milik kaum tua-tua? Apa yang mereka pentaskan? Mereka akan menunjukkan "Atraksi Media Sosial." Untuk apa? Seberapa penting? Apa pengaruhnya bagi pesta demokrasi kita?
Merujuk data yang dikeluarkan We Are Social pada awal 2020, jumlah pengguna media sosial secara global menembus angka 3,8 miliar pengguna. Platform media sosial yang paling banyak digunakan adalah Facebook, Youtube dan Whatsapp. Dari banyaknya pengguna media sosial, mayoritas dikuasai oleh kaum milenial.
Untuk Indonesia, We Are Sosial mencatat ada sekitar 160 juta pengguna media sosial aktif. Platform media sosial yang paling banyak digunakan adalah Youtube, Whatsapp, Facebook, Instagram dan Twitter. Indonesia termasuk dalam salah satu negara pengguna media sosial terbesar. Lagi-lagi kaum milenial menempati posisi pertama.
Kaum milenial tidak hanya unggul dalam jumlah pengguna. Mereka juga sangat fasih memanfaatkan media sosial yang ada. Bisa dibilang mereka kompeten dalam urusan rumah tangga internet.
Maka jangan heran jika mereka melahap habis blog, vlog, menjadi youtuber, dan lain-lain. Mereka sering berpesta porah di atas panggung "Sekali Klik-Ada" ini. Setiap orang berlomba-lomba berlari dalam laju perkembangan dunia, khususnya dunia virtual.
Media sosial sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup mereka saat ini. Hal ini berdampak pada sikap dan perilaku mereka yang kurang peka dengan dunia real. Dunia nyata dimayakan dan dunia maya dinyatakan. Fenomena ini tidak bisa kita sangkal atau kita tolak. Kita perlu berdamai dengannya.
Tuntutan kita sekarang adalah berlangkah, berjalan dan bahkan berlari bersama arus perkembangan dunia. Butuh stamina yang banyak untuk sejajar dengan perkembangan yang terjadi. Daya konsentrasi pun harus ditingkatkan. Jika "loading error", kita sudah tertinggal jauh di belakang. Dunia "klik" mengharuskan kita untuk tetap "stay focus" di layar kaca bermodal data.
Pertanyaannya, apakah kaum tua-tua mampu berlari bersama laju perkembangan teknologi? Mereka memang mampu berlari namun tidak untuk waktu yang lebih lama. Untuk itu, kaum tua-tua perlu sadar diri.