Matahariku tengah menjaga sepi. Dia sedang menyeruput kopi bersama senja di balik awan gelap. Hujan suntuk semalam menepis kerinduanku padanya.Â
Saat ini aku hanya ingin angin segar itu datang dari hujan bukan dari matahariku. Setelah sekian bulan dia mencumbui dan meniduri egonya sendiri.Â
Dia menelanjangi bumi ini dengan menjilat puas keperawanan serta mengisap habis keperkasaannya.
Matahari lupa kalau bumi adalah ibu kita semua. Ibu yang tengah risau karena penyakit mematikan sedang merobek hatinya.Â
Bumi ibu kita rela memecahkan kantong kemihnya demi seluruh kehidupan di atas rahimnya sendiri.Â
Sayang sekali kantong kemih yang jatuh dari rahim ibu. Membentuk titik-titik sumber air itu. Perlahan nan pasti, mulai kering.Â
Ah, matahariku. Saat ini aku tak ingin merindukanmu. Pergilah menikmati keegoanmu sendiri bersama liyan.Â
Aku ingin merangkak bersama ibu. Mengobati luka-luka yang kau pahat di atas rahimnya.Â
Menangis bersama ibu bagi mereka yang menidurinya. Untuk mereka yang mengiris dinding rahim ibu hingga bau amisnya menghentak dan tercecer di udara.Â
Sungguh sial nasib ibuku kini. Mereka mengadopsi anak-anak dari hasil persetubuhan ego, dominasi liyan dan intelek yang brutal.Â
Mereka menghapus jejak dan menghilangkan sidik jari dengan mencuci tangan. Mereka menutup mulut dengan masker tanpa tanggung jawab. Hati mereka telah buta dan nurani batin telah tumpul.Â