Dunia memang sedang sekarat. Diterpa badai virus ganas. Rintihan kesakitan terdengar dari seluruh pelosok kehidupan.Â
Di sudut belahan dunia ternganga ketidakadilan yang masif. Kenikmatan menjadi hamba sebagian orang. Kematian diratapi dengan sorak sorai.Â
Adakah sekarang tempat mengaduh yang tenang? Memohon pada dunia seperti mencekik leher sendiri. Mereka empati namun tidak simpati.Â
Di pojok rumahku. Ibu sedang membersihkan rumput. Katanya biar tanaman tumbuh subur dan sehat. Beralas telapak kaki pecah dia berjalan di atas duri kehidupan.Â
Sebuah alas duduk diletakkan di bawah pohon kelapa. Katanya menanti anak yang melarat kelaparan di negeri sejuta emas.Â
Ah, ibu. Aku hanya ingin kembali ke rumah. Menganyam sukacita dalam secuil senyum manismu. Kulit keriputmulah menjaga kelembutan hatiku.Â
 Kelak kutunggu rambut putihmu. Kan kusisir hingga aku lelap di pangkumu. Saat ini kubutuh doamu. Melintasi indahnya hidup dalam dekap erat tanganmu.
 Ada rindu terselip untukmu ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H