Ada orang berteriak di ruang publik. Membeludak suaranya. Menggema mereka yang hadir. Tak terkira banyaknya. Berjuta-juta. Putih berbalut hitam. Amarah tercurah di tiang darah. Katanya mereka pahlawan. Mungkin. Sayangnya banyak yang tak suka. Pahlawan tanda tak suka gelar buat mereka.
Api dan air telah bersatu. Tak ada lagi panas atau dingin. Hanya ada hangat. Semua tercebut dalam kolam rasa yang satu. Sudah selesai kini kembali berbenah. Merangkai cerita tentang detik dan jam ini. Semua tuk disaji dalam narasi di kursi roda.
Cucuku aku pernah duduk di kursi hangat. Ada kenyamanan. Uang. Makan. Snack. Tidur. Semua tersaji di ruang tak berase itu. Datang. Duduk. Diam. Semua terasa seperti di surga. orang kecil sibuk berteriak aku sibuk menyibak setiap lembaran kertas mereka.
Aku begini karena kursi hangat itu. Duduk terlalu lama menampung penyakit. Stess. Gagal ginjal. Gula. Darah tinggi. Untung saja tidak gila. Semua seperti istana bagi diriku sendiri.
Aku mulai sadar kursi hangat telah berubah menjadi kursi roda. Aku berjalan dengan tanganku sendiri. Aku tertidur seperti saat berada di ruangan berase. Mungkin inilah takdirku menjadi manusia kursi roda.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H