Aku perempuan. Sejak dalam kandungan aku menjadi perempuan. Tidak ada yang menginginkan aku menjadi perempuan. Aku ada sebagai perempuan. Aku tidak menolak diri sebagai perempuan.
Aku perempuan Manggarai. Memeluk budaya Manggarai. Bapa dan Mama adalah orang Manggarai. Aku berbahasa Manggarai. Aku cinta kemanggaraian yang melekat dalam diri. Aku seratus persen perempuan Manggarai.
Dalam diriku mengalir kebudayaan Manggarai. Aku bangga memakai songke. Mahkota balibelo menjadi puncak kecantikanku. Aku bahagia bisa bertumbuh dalam darah Manggarai. Tak ada yang bisa mengambil kebahagiaanku sebagai perempuan Manggarai.
Kebanggaanku sebagai perempuan Manggarai terpatri dalam diri saat kecil. Kini semuanya semakin hilang. Aku bertumbuh besar. Ada kegelisahan yang merongrong hatiku. Setiap kegelisahan itu meninggalkan sakit yang mendalam. Mengapa? Aku seperti tak meyakini itu.
Sahabat-sahabatku sudah banyak yang berkeluarga. Mengapa aku masih seorang diri. Apa yang kurang dariku? Apakah aku kurang cantik? Apakah aku kurang berpendidikan? Apakah aku kurang mencintai budaya Manggarai? Pertanyaan itu menyisahkan misteri.
Aku sekarang memiliki kesempurnaan menjadi perempuan Manggarai. Aku siap menjalin hidup bersama orang yang aku cintai. Sayang, hingga kini aku masih seperti dulu. Ada apa dengan diri ini? Siapakah aku ini? Apakah aku layak menjadi orang Manggarai?
Aku menemukan jawaban atas misteri hidup ini. Ketika kembali ke kampung, aku mengikuti pesta sekolah. Sudah menjadi kebiasaan orang Manggarai, setiap anak yang akan menyelesaikan kuliah diadakan pesta sekolah. Kebiasaan ini sering dinamakan pesta sekolah.
Saat itu aku bangga duduk di pelataran rumah. Senyuman hangat kuberikan kepada setiap mereka yang datang. Pesta adat berlangsung meriah. Setiap makanan memiliki harga. Aku sesekali diajak untuk bergoyang dan berdansa bersama mereka yang hadir. Di akhir tarian selalu ada uang. Dari pagi hingga malam pesta terus berlangsung. Hampir tiga atau empat jam jumlah uang dibacakan. Hingga malam uang sudah menembus angka sembilan puluh lima juta. Senyum indah muncul dalam pesta malam itu. Aku bangga mendengar nilai yang dibacakan. Akhirnya peristiwa hari ini menghapus keringat orangtua selama beberapa tahun. Mereka bahagia dan aku bahagia.
Selepas peristiwa hari itu aku semakin bahagia. Gelar S3 yang kuraih selama ini memudahkanku untuk diterima kerja. Aku memiliki pendapatan yang luar biasa. Orangtua dan keluarga sangat senang. Aku bisa menjadi perempuan yang mandiri. Tidak ada yang kurang dari hidupku sekarang. Semuanya bisa diperoleh dengan uang. Aku terlahir sebagai anak yang paling sukses di kampung. Tidak ada perempuan lain yang memiliki gelar sepertiku.
Kebanggaanku memiliki gelar yang tinggi adalah awal dari semua kegelisahan ini. Aku semakin mempertanyakan keberadaanku sebagai perempuan Manggarai. Usiaku sudah beranjak ke kepala tiga. Sampai saat ini belum ada yang berani masuk dalam kehidupan cintaku. Aku bahagia dengan uang namun belum menemukan cinta tanpa uang. Perasaanku tidak bisa memberi lebih.
Dalam kegelisahan itu terdengar dering teleponku. Aku tahu siapa yang mengontakku saat ini. Alan, dia seorang yang sangat kusayangi saat ini. Kami hanya bisa bertemu selepas pertemuan dua bulan lalu. Dia dan aku dipisahkan sementara hanya karena belum ada jawaban yang pasti dari keluarganya. Semuanya perihal belis yang harus dia bawa untuk meminang aku.