"Sayang, apa kabar? Semoga baik-baik saja. Jangan lupa berdoa agar kita tetap saling mencintai," pesan singkat dari Alan.
Aku tak mampu membalas setiap pesan darinya. Aku malu kepadanya dan keluarganya yang telah datang dengan sejuta harapan. Tapi sayang mereka pulang dengan kepala lusuh. Tak ada kebahagiaan yang mereka peroleh. Namun, aku lebih malu pada rasa cintaku pada Alan. Aku bisa menyelesaikan kuliah S3 juga berkat bantuannya.
Orangtua memang mengirim uang untuk membiayaiku di Yogyakarta. Mereka tidak tahu siapa orang terdekat yang selalu hadir saat aku sakit. Alan selalu menjadi orang pertama yang selalu siap menemaniku di saat aku mengumpulkan desertasi. Dia selalu memberi waktu untukku. Ujian terbesarku saat ini bukan soal mempertanggungjawabkan materi kuliah tapi soal cinta, perhatian, dan kasih sayang.
Pengorbanan Alan yang membuatku berani berkata, "Sayang, kita akan hidup bersama di tanah Manggarai. Aku berjanji dalam kenyamanan ini, kita akan hidup bersama. Aku merasa nyaman dan tak mungkin berpaling ke rasa yang lain. Alan, engkau segalanya bagiku."
Aku terus menyakini dia dengan sepenuh hati. Aku ternyata salah. Bahasa wajahnya saat itu penuh keraguan. Aku tak pernah mengerti soal hal itu. Ada yang dia sembunyikan saat seribu satu litani cinta terbersit dari mulut manisku. Dalam tetesan air mata aku sadar bahwa jawabannya atas semua ungkapan hatiku adalah ketakutan akan masa sekarang.
"Kita berdoa saja semoga harapan ini menjadi kenyataan," demikianlah kata-kata yang selalu terucap di akhir kata hatiku padanya.
Malam ini di hadapan fotonya aku mengerti akan semua misteri diamnya. Orangtuanya petani. Dia dibiayai dari sekarung padi yang dipanen setiap bulan. Dia anak pertama dalam keluarga. Adik-adiknya sebentar lagi akan kuliah. Harapan orangtua dia bisa membiayai adik-adik. Aku bangga sekaligus menyesal telah menggoreskan luka di dalam hatinya.
"Sayang, maafkan aku yang selalu tak mengerti pada semua kegelisahanmu. Maafkan aku yang telah menggantung mimpi setinggi langit yang tak bisa kita raih bersama. Aku telah menjebakmu dalam rasa yang akan selalu berpisah," ungkapku dalam rasa menyesal yang mendalam.
Botol minuman yang menyimpan kata-kata adat masih disimpan di lemari doa. Aku menatap lekak benda yang menjadi pemisah cintaku dan cintanya. Rasa benci semakin memuncak saat kain songke yang dikenakan bapa membentang di samping botol itu.
"Tuhan, apakah tulang rusukku dipisahkan oleh kedua benda ini? Mengapa aku tak bisa bersama Alan? Apakah Engkau tak bisa berbuat sesuatu atas adat istiadat ini? Engkau lebih berkuasa atas segala sesuatu di muka bumi ini. Tunjukan kuasa-Mu atas kami di tanah Nuca Lale ini," protesku dalam hati.
Aku ingin membuang kedua benda ini. Namun, aku tak bisa melangkahi adat yang diturunkan oleh nenek moyangku. Bapak adalah kepala adat di kampung ini. Aku tak bisa mempermalukan bapak hanya karena rasa ini. Aku tetap harus membuang kedua benda ini yang selalu memberi jarak antara aku dan Alan.