Ketika teman-teman bertanya seputar kenangan masa kecil, aku hanya bisa tersenyum malu. Aku berusaha menunduk dan mencoba mencari topik pembicaraan lain. Namun, mereka terus memaksaku untuk mengisahkannya.Â
Jujur saja aku sangat malu ketika, sebelumnya, mendengarkan kisah masa kecil mereka. Jorgi, seorang putra Yogyakarta, sangat bangga menceritakan masa kecilnya. Ketika berumur lima tahun, dia sudah mengikuti banyak kursus seperti bahasa Inggris, menulis, membaca, dan lain sebagainya.Â
Alfin, seorang keturunan Cina-Jakarta, mengisahkan tentang pengalaman mengunjungi Taman Mini Indonesia Indah, Monas, Kota Tua, Stadion Gelora Bung Karno, naik pesawat terbang, dan lain sebagainya.Â
Masih banyak sahabat yang mengisahkan pengalaman masa kecilnya. Kisah mereka menjadi pukulan terbesar bagiku untuk menceritakan masa kecil di Waelengga.Â
Sebelum mengisahkan masa kecil, aku menuju kamar kecil. Di sana aku menenangkan getaran jantung yang meruntuhkan kepercayaan diriku. Aku membasuh wajah. Di depan cermin aku menatap wajah "Waelengga" ini. Kulit hitam, rambut keriting, muka sangar menjadi penyemangatku.Â
Sebenarnya ada keinginan untuk mengarang cerita agar bisa mengimbangi kisah mereka. Namun, aku tak bisa menyangkal siapa aku sebenarnya. Tak ada yang bisa mencabut darah "Waelengga" di dalam diri ini. Aku kembali dan memulai kisah masa kecil di hadapan mereka.Â
Kisahku tentang Waelengga
Aku lahir di Waelengga. Lingkungan tempat tinggalku masih tergolong kampung. Banyak jalan yang belum diaspal. Fasilitas masyarakat belum memadai. Rumah sakit dan sekolah masih tertinggal dengan tempat asal teman-teman semua.Â
Bisa dikatakan bahwa tidak ada yang bisa dibanggakan dari Waeleengga. Sawah hanya bisa diairi pada musim hujan. Lapangan kerja hanya tersedia saat tanam padi, membersihkan rumput serta memanennya. Selain itu, banyak yang bekerja sebagai nelayan. Namun, penghasilan yang diperoleh, entah dari petani maupun nelayan, hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.Â
Ada binatang peliharaan seperti sapi, kuda, kerbau, kambing dan babi. Semua binatang ini hanya memenuhi kebutuhan hidup yang lebih formal, seperti urusan adat, kematian, pesta sekolah, pendidikan, pembangunan rumah dan lain sebagainya. Aku bersyukur bahwa dengan beternak, banyak teman-teman yang bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.Â