Perempuan letih dengan tangan tergopohMenuju dapur tua penuh dengan tertatih-tatihMembuka periuk di atas tungku apiHanya ada sepotong kerak gosongDicedok dalam-dalam hingga alasnya berbunyiSebagiannya hangus penuh arangSenduk kecil melingkari periuk ituDalam nada yang sama hati bersyukur untuk makan hari iniSelepas mencari nasi tuk sepiring kehidupanPerempuan itu tidak langsung menyantapnyaAda orang yang layak menelan nasi gosong ini Dia melirik jauh ke arah langitBerharap sang surya sudah terbitDiayunkannya tangan keriput dengan gemulaiWajah tua penuh harap tersingkap di senyumnyaKemari anakku makanlahDia bahagia anaknya bisa makan hari iniDalam cahaya fajar ada sukacita yang tersembunyiAnaknya datang menikmati nasi gosong ibunyaTuhan sungguh baik meninggalkan kenangan iniSaat sang surya ke pelosok surgawi memori ini mengikat cinta merekaMungkin dia tak kembaliWanita tua itu yakin anaknya selalu meminta sepiring nasi gosong dari ibunyaSaat itu pagi bersama sang jago mereka berteriakIbu berikan aku nasi gosong yang kau sisahkan dari jatah makanmu malam tadiSang ibu sadar dunia hidup dan mati disatukan dalam cinta yang tak pernah redup setiap pagiNak, datanglah ibu sediakan makan terakhir untukmu pagi iniKita akan bertemu di alammu dalam waktu dekatIbu hanya perlu menyiapkan sepiring nasi kado terindah buatmuSepiring nasi itu adalah doa ibu buatmu yang mengantarku pada sinar kebangkitan
Yogyakarta, 25 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H