Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yakinlah Hatiku Sanggup Menjaga Cintamu

12 Maret 2019   19:43 Diperbarui: 16 Maret 2019   21:52 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini saat mengikuti kuliah Sejarah Doktrin Gereja, satu pertanyaan menggelitik hati saya. Sayangnya, pertanyaan ini bukan soal Doktrin Gereja Katolik tetapi soal cinta. Memang tidak ada relevansi antara doktrin dan cinta. Tapi saya merenungkan lebih jauh tentang hal ini. Memikirkan cinta saat belajar Doktrin Gereja Katolik adalah bentuk rasa cinta terhadapnya. Agar tidak bertele-tele, saya ingin membagi refleksi mengenai pertanyaan soal cinta tadi.
Kepada seorang teman saya bertanya, "Apakah kamu pernah jatuh cinta?" 
Pertanyaan ini rupanya mengganggu konsentrasinya terhadap penjelasan dosen. Dia menjawab, "Saya pernah jatuh cinta." 
Dalam hati saya sedikit ragu dengan jawabannya. 
Saya bergeming, "Mana ada perempuan yang suka dengan dia yang paling jelek di kelas ini." 
Saya tertawa dalam hati. Mungkin saja pendekatannya baik sehingga banyak yang suka hahaha. Tapi syukurlah dia tidak balik bertanya kepada saya. Pasti dia akan menertawakan atau bahkan merasa mual dengan jawaban saya. Hal ini karena wajah kami tidak jauh berbeda jeleknya hahaha.
"Dari mana tumbuhnya rasa cinta itu," aku kembali bertanya.
Dia menjawab dengan langtang, "Saudaraku cinta itu datangnya dari mata turun ke hati." 
Saya ragu dengan kualitas cintanya. Sejauh diamati, cinta dari pandangan mata seringkali kabur dan tidak mendalam. Mengapa demikian? Mata bisa menipu rasa. Saat ada perempuan yang lebih menarik hati, misalnya cantik, seksi, putih, senyum manis, cinta bisa cepat berpaling. 
"Berapakah perempuan yang pernah menjadi pacar kamu? Maaf terlalu pribadi dan mengganggu privasi pertanyaan ini," ungkapku memohon maaf. 
Dengan tertawa dia menjawab, "Yang bisa dihitung lebih dari tiga puluh."
Jawabannya membuat jantungku berhenti berdetak. Saya kembali melihat diri sendiri. Butuh banyak waktu bagiku untuk bisa memacari perempuan sebanyak itu. Saya malu dengan diri sendiri. Ah, tapikan ini bukan sebuah prestasi yang bisa dibanggakan. Justru ini sebuah "bencana hati" yang harus diatasi. 
Dia balik bertanya, "Saudara, apa kegelisahan yang kamu alami sekarang? Apakah kamu sedang jatuh cinta?" tanyanya meneror hatiku. 
"Jangan salah sangka ya. Saya tidak akan jatuh cinta lagi. Butuh banyak waktu untuk melepaskan yang satu. Dan, mungkin kematian yang mampu menghapus rasa cintaku padanya," jawabku dengan tegar.
"Saudaraku, zaman sekarang cinta bisa dibeli. Wajah bukanlah modal yang bisa dibanggakan. Apalagi mencintai dengan setia. Itu mustahil," bisiknya sambil tersenyum.
***Pelajaran di kelas semakin seru. Lagi-lagi saya masih terkungkung dengan pertanyaan tentang cinta. 
"Semudah itukah cinta dipermainkan? Apakah Tuhan juga memperlakukan hal yang sama. Jika benar, apakah aku masuk dalam orang yang pernah dicintai oleh Tuhan?" pertanyaan teologis eksistensial ini menggugat hatiku. 
Tuhan tidak pernah memandang muka ketika mencintai manusia. Dia mencintai secara universal. Semua sama di mata Tuhan. Miskin, kaya, hitam, putih, jelek, buruk, cacat, sakit, semua sama di hadapanNya. Mungkinkah manusia bertindak di luar cara Tuhan mencintai?
Saat bergulat dengan pertanyaan itu, temanku balik bertanya, "Bagaimana cara kamu mencintai perempuan?" 
Saya tersenyum padanya. Dengan hati tenang saya menjawabnya dengan santai.
"Saudara, saya mencintai perempuan dari hati bukan dari mata. Mengapa dari hati? Hati mampu menjaga cinta. Mata? Mustahil baginya tuk setia pada cinta. Hingga kini saya masih menjaga cinta yang datangnya dari hati. Saya yakin cinta yang datangnya dari hati akan kembali ke hati. Saat ada persoalan dengan orang yang saya cintai, satu hal yang saya lakukan adalah mendengar bisikan kata hati. Dengan demikian, saya bisa mengontrol ego yang sering mengalahkan cinta. Hati tahu bagaimana cara mencintai dengan sungguh. Itu sebabnya hingga kini saya tetap pada rasa yang sama, tetap pada hati yang sama, tetap pada cinta yang sama, dan tetap pada kesetiaan yang satu. Engkau boleh menertawakan saya yang memiliki satu cinta. Ingat, saya sedang meragukan kualitas dirimu dalam mencintai orang lain," ungkapku dengan nada yang lembut.
Perkataanku rupanya membakar hatinya. Wajahnya memerah. Dengan sedikit santai saya menepuk punggungnya. 
"Saudaraku, cara kita mencintai bisa menentukan siapa diri kita sesungguhnya. Mulai sekarang cintailah dia yang kau sayangi dengan menaruh hatimu padanya. Saya percaya, hati bisa menjaga cinta kalian dengan sempurna," ungkapku sambil meninggalkan kelas.
Sekian. 

*Sebuah kisah inspirasi untuk menjaga keutuhan cinta dalam keluarga maupun cinta sepasang kekasih yang saling mencintai.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun