Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bahasa Kasih dalam Sebuah Pelukan

10 Maret 2019   23:40 Diperbarui: 11 Maret 2019   15:02 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Wisma Skolastikat Claretian Yogyakarta

Kesan Suster, "Aku bahagia bersama kalian semua." Kesan Mbak Mifta, mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, "Suster seperti Ibu kandungku sendiri."
Temu sukacita ini terlukis saat beberapa teman dari UIN Sunan Kalijaga mengunjungi komunitas Wisma Skolastikat Claretian Yogyakarta. Dari sini terjalin sebuah relasi kasih yang indah. Seorang suster berkebangsaan Argentina melihat sebuah panorama indah di depan mata. Bisa dimaklumi negaranya bermayoritas Kristiani. 
Kesan awal bermula dari kamar makan. Aku melihat ada semacam ketakutan di hati seorang teman Muslim. Saat suster datang berjabat tangan, dia terlihat kaku. Dengan penuh keterbukaan hati, suster mampu mengenal mereka secara lebih dalam. Sukacita makan bersama menghilangkan ketakutan di mata teman-teman UIN. 
Suster yang masih mengikuti kursus bahasa Indonesia, tidak melihat keterbatasan bahasa sebagai penghalang untuk menjalin komunikasi. Dia mampu mengerti maksud pertanyaan disampaikan. Tampak dari keterbatasan, ada kebahagiaan yang mendalam. Kasih mampu menjadi bahasa  kehidupan yang tak perlu memandang perbedaan.

Setelah makan siang, momen indah kembali diabadikan. Kini tidak ada lagi rasa takut yang membuat kaku. Terjalin cinta dalam pelukkan kasih. Jilbab dan kerudung menjadi mahkota indah yang memberi keteduhan hati. Tak ada kata yang bisa melukiskan sukacita dalam nuansa damai ini. 
Kini aku sadar sebuah pelukan mampu mewakili seribu kata. Pelukan dari dua insan yang berbeda agama mampu menyatukan perbedaan yang ada. Agama bukanlah pemisah. Agama membuka ruang untuk saling menghargai dan mencintai. Berbeda memiliki kekuatan untuk mengikat persaudaraan. Indah bukan? 
Bahasa kasih mampu menyatukan perbedaan. Ada tanggung jawab yang besar dalam menjaga kesatuan bangsa Indonesia di tengah situasi politik yang kian memanas. Kaum milenial jangan mudah tersulut amarah ketika berhadapan dengan isu-isu yang memecahkan kesatuan. Apa lagi isu yang mengatasnamakan agama.

Kita memiliki agama dan memiliki media. Ingat, akhir-akhir ini agama dan media sering dijadikan alat politik. Berita-berita bohong (hoax) semakin merajalela di linimasa hidup kita. Hal ini patut disadari agar tidak menimbulkan kerisauan dalam kehidupan bersama.

Jari-jemari yang tidak bertanggungjawab terus menggoyangkan kedamaian dengan menebarkan berita bohong. Tendensi mereka adalah memecahkan persatuan. Lawan jari-jemari yang sibuk membuat hoaks dengan menyebarkan fakta dan kebenaran yang nyata.
Jangan mudah percaya dengan sebuah berita yang beredar. Tanggapi berita yang ada dengan kritis. Carilah sumber-sumber yang benar untuk mengkritisinya. Manusia beragama dan bermedia harus bijaksana menyikapi persoalan. Cintailah agama dan media dalam bahasa kasih dengan menjaga kesatuan dan kedamaian di rahim Ibu Pertiwi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun