Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Rasa yang Mati telah Mati Rasa

27 Februari 2019   17:00 Diperbarui: 27 Februari 2019   17:20 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potongan hari diikat menjadi setumpuk ruang yang menamai diri sebagai bulan. Ada dua belas ikat. Satu ikat terakhir belum sempurna di kala belasan hari tertinggal. Saat itu dia yang katanya sempurna dalam cinta datang lebih awal. Sebenarnya kepenuhan cinta utuh saat dia menunggu satu ikat terakhir melengkapi selusin kayu ikat yang lain. Sayangnya dia datang lebih awal.

Dua belas bulan hati ini dibalut dalam rindu. Tak ada kabar dari dia pembuat rindu. Hati bersuara tuk menunggu bulan terakhir mungkin dia datang dalam rasa yang sama. Entahlah benar atau tidak dia hadir seperti bayang di telapak kaki. Bisa kuinjak tak bisa kutendang. Mungkin dia tahu spasi hati yang kian kosong tapi dia datang bak mimpi di alam sadar.

Rasa yang dulu meleburi hati kini telah mengering. Dia tak sebasah saat awal menghujaniku dengan kata sayang. Kemarau kegalauan kian kering bak bunga bakung di atas bara. Seribu janji yang terbit dari mulut manisnya menguburkan langkahku tuk beranjak ke bilik hatinya. Kubenamkan cahaya cinta dalam sebuah janji yang menusuk ke ubun-ubun kelopak hatinya. 

Rasa yang mati telah mati rasanya. Pernah hidup tapi kau matikan. Ingin hidup tapi kukatakan jangan. Biarlah rasa terkubur dalam senja di sore ini. Kuingin mencari seikat kayu yang tak terhitung dalam sebulan. Akan kujadikan dia seikat untuk satu selamanya. Mungkin tidak saat ini. Yakinlah potongan hari yang kubuat sudah berbisik tuk tinggalkan belasan hari yang kau jadikan luka ternganga.  

Hadirmu menghilangkan rasa. Dari balik jendela kamar kulemparkan dua belas kerinduan yang selama ini melumuti hati. Biarlah senja menguburnya bersama malam gelap. Bangkitlah menjadi roh air mata yang meratapi kebutaan cinta. Di atas sendal jepit muara rindu kususuri arus sungai yang membawa potongan hati menuju lautan rasa. Akan kujala arus lautan tanpa janji-janji palsu. Setiap tikungan jala pasti ada hitungan hari yang akan kuikat dalam cinta bahagia.
Salam, PEACE WAELENGGA Yogyakarta, 27 Februari 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun