Waktu semakin mengikis usiaku. Tidak banyak yang kulakukan bersama anak-anak. Aku pergi pagi pulang malam. Ketika berangkat kulihat mereka masih terlelap. Saat pulang pun demikian mereka sudah tidur. Kucoba mengisi hari kerjaku dengan sekuat tenaga. Siapa tahu pemilik perusahaan memberiku waktu libur. Aku rela tak istirahat siang demi mengisi waktu bersama anak-anak. Badanku gemetar saat perut terasa kosong. Dalam tekad yang kuat dan semangat yang tak pernah pudar wajah polos anak-anak selalu terbayang. Tapi satu yang kurang. Selalu terbayang wajah mereka yang tertidur.
Aku tak tahu seperti apa wajah mereka ketika tersenyum. Apakah seperti aku atau ibu mereka? Pekerjaan ini menyiksa hidupku. Aku tahu mereka pasti terluka ketika bangun pagi tak ditemani ayah. Mereka juga selalu menyalami tangan yang sama saat hendak berangkat sekolah. Aku sebenarnya malu saat harus menggoresi hati mereka saat menyentuh tangan ini. Tanganku kasar karena tuntutan kerja.
Waktu yang kutunggu pun tiba. Aku mendapat waktu libur yang panjang. Keuanganku pun cukup untuk membiayai keluarga. Akhirnya aku bisa bersama anak-anak saat bangun pagi ataupun tidur malam. Kini aku bisa merawat tanganku agar mereka bisa memberi salam semangat saat hendak ke sekolah. Aku janji akan bersama saat waktu terus memberi kebersamaan ini. Aku bahagia saat wajah senyum manis anak-anak terbayang di hatiku. Kini aku sadar betapa pentingnya keluarga. Aku bekerja bukan hanya untuk mendapat uang. Aku bekerja untuk kebahagiaan hidup dimana aku selalu meletakkan kepala.
"Kuharap bulan menyinari mimpi saat malam gelap mulai tenggelam. Wahai mimpi indahkanlah hidup ini. Wahai senja terimalah salamku."
***
Salam, PEACE WAELENGGA
Yogyakarta, 04 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H