Aku menuju perempatan jalan. Kendaraan begitu padat. Aku berjalan menuju tempat tunggu. Kudapati dua lelaki tua sedang asyik berbincang. Seorang lelaki mengenakan celana panjang hitam dan bersandal kulit. Tangan kirinya mengapit sebatang rokok. Sambil menghisap dia melihat ke arah perempatan jalan.
Smartphone diraihnya dari saku celana. Layarnya pecah membentuk dua garis. Entah sadar atau tidak dia mengangkat kaki kiri ke bangku tempat duduknya. Dia tidak mengacuhkan aku. Pepatah 'tua-tua keladi' cocok diberikan kepadanya.Â
"Sombong sekali lelaki tua ini. Semakin tua, semakin menjadi-jadi," aku bergumam.
Dia berbicara dengan temannya menggunakan bahasa Jawa. Aku tak mengerti isi pembicaraan mereka. Sesekali mereka tertawa lepas.
"Mungkin mereka sedang membicarakan sesuatu yang berbau humor. Seandainya bisa berbahasa Jawa aku akan berbincang bersama mereka. Tiga tahun berada di Yogyakarta aku hanya mengetahui beberapa kosa kata. Mengapa aku tidak belajar bahasa Jawa? Melalui bahasa aku bisa berelasi dengan orang lain termasuk dua lelaki tua ini," kesalku dalam hati.
Lima belas menit berlalu. Lelaki tua yang duduk di sampingku mengamat-amati perempatan bagian utara. Tempat itu menarik perhatiannya. Apa yang akan dilakukannya? Aku tidak tahu.
Tangan kirinya mengambil kresek hitam yang diletakkan di sampingku. Dikeluarkannya setumpuk bebek mainan anak-anak. Warnanya kuning. Sesekali dia menarik bebek tersebut dan membiarkannya berjalan di atas sebilah papan. Aku jadi terhibur melihat bebek mainan itu bergerak lucu.
"Sugeng enjang Pak," aku memberi salam.
"Sugeng enjang Mas," sahutnya.
"Mau diapaian barang-barang ini Pak?" tanyaku penasaran.
"Buat dijual demi mencukupi kebutuhan setiap hari. Hidup di kota itu sulit. Pekerjaan kecil kayak gini sudah cukup untuk bertahan hidup. Aku berjemur seharian di terik mata hari demi sesuap nasi buat istri dan anak," ungkapnya dengan nada sedih.