Mak, apa kabar di kampung?
Sakit gula Mak bagaimana? Rajinkah Mak minum obatnya? Jangan lupa dijaga makannya ya, Mak.
Ayah bagaimana? Adakah masih Ayah rasa sakit di dadanya?
Nak bingung memikirkan Ayah, Mak. Begitu keras hatinya, “AKU SEHAT!” katanya keras-keras tiap hendak diajak ke dokter.
Nak berharap, Ayah benar-benar sehat, seperti yang dikatakannya pada kita.
Tapi toh, kita sama-sama tahu, kondisi Ayah tak seperti dulu.
Dokter bilang Ayah sakit jantung, eh si Ayah malahan marah-marah, “TAK PERNAH ADA SEJARAHNYA AKU SAKIT JANTUNG!” begitu dia bilang pada kita, keras-keras.
Mak, maafkan Nak yang tinggal jauh dari Mak dan Ayah.
Cuma bisa menelepon, itupun jarang. Tulis surat sekarang sudah ketinggalan jaman, lagipula Nak bingung hendak berkata apa pada kalian.
Mak, bagaimana kabar Mak hari ini, apa lauk makan Mak dan Ayah hari ini, enakkah?
Mak ku tersayang,
Mak tak pernah minta apapun pada kami, hanya minta kami semua yang ber-enam ini, rukun saja.
“Sudahlah,” kata Mak tiap kali kami berselisih.
Mak, terimakasih sudah tegar menjaga ayah selama ini, ya.
Padahal, Mak pun bukannya sehat.
Mak pun mestinya diperhatikan.
Gagal kami, Mak.
Mak, malu rasanya sebagai Anak.
Mengambil sebanyak-banyaknya yang bernama hak, lalu pergi.
Pernahkah Mak menyesal beranakkan kami?
Mak, Nak rindu tidur di paha Mak. Tertawa terbahak di samping Mak.
Tawa Mak seakan obat untuk Nak. Tanda kami masih berarti untuk Mak.
Mak, Nak rindu,
Nak ingin pulang,
Tapi, entah mengapa Nak tak pulang juga.
Ada saja alasan tercipta. Repot bawa anaklah, ada pekerjaanlah, tak ada uanglah.
Mak, maafkan kami.
Maafkan sebesar-besarnya.
Adakah Mak mendengar suara hati, Nak?
Kadang, tak mampu Nak berucap lewat telepon.
Standar saja, “Sehat, Mak? Ayah sehat? ada kabar apa, Mak?”