Pada tanggal 3 September 2024, terdapat peristiwa tragis pembunuhan yang terjadi pada keluarga berdomisili kelurahan Manisrenggo, Kota Kediri, Jawa Timur. Sang ibu (NH) telah membunuh dua buah hati nya menggunakan parang saat mereka sedang tertidur lelap. DIkarenakan perilaku NH yang dianggap melampaui batas wajar perilaku manusia normal, akhirnya para tetangga mengira bahwa NH mempunyai riwayat depresi (gangguan kejiwaan). Karena kondisi kejiwaannya yang belum jelas, masih diperlukannya kajian yang lebih mendalam. Saat ini, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Kediri Kota Inspektur Satu Fathur Rozikin mengatakan bahwa kasus NH sudah bergulir di kepolisian dan masih dalam penyelidikan.
Di ranah pemerintahan dinyatakan bahwa nama NH tidak masuk dalam daftar pendampingan rehabilitasi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), yakni program sosial di bawah dinas sosial dalam penanganan ODGJ. Kepala Dinas Sosial Pemerintah Kota Kediri, Paulus Budi Luhur, mengatakan bahwa tidak masuknya nama yang bersangkutan artinya dia bukan warga sasaran program dinasnya yang selama ini berjalan. Pihaknya mengaku sudah melakukan penelusuran riwayat pelaku tersebut hingga ke tingkat puskesmas dan hasilnya tidak ada laporan bahwa yang bersangkutan mengalami depresi. Paulus juga mengatakan bahwa tidak ada nya laporan tersebut biasanya terjadi karena tingkat depresi yang masih ringan dan pihak keluarga merasa masih mampu untuk menangani kasus depresi tersebut.
"Biasanya cukup ditangani keluarga. Kalau di kami kan menangani yang berat-berat itu," kata Paulus. Meski demikian, peristiwa itu membuat pihaknya merasa harus semakin meningkatkan jangkauan layanan program sosialnya kepada masyarakat untuk meminimalisir peristiwa yang sama terulang kembali. Beliau juga mengambil pembelajaran bahwa mereka harus lebih aware terhadap permasalahan kejiwaan yang rawan terjadi. Pak Paulus juga sudah memerintahkan  petugas lapangan untuk lebih peka saat menjalankan tugasnya.Â
Selain itu, karena kondisi perekonomian keluarga NH tergolong lemah, NH berhak mendapatkan sejumlah bantuan yang diberikan oleh pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan dan penguatan jaring pengamat sosial. Tindakan ini juga didukung oleh pekerjaan Z yang serabutan dengan mengandalkan hasil kolam ikan di belakang rumah dan Z juga tercatat namanya dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). "Selama ini pak Z secara rutin menerima bantuan dari pemerintah," ungkapnya. Bantuan tersebut di antaranya dalam bentuk program keluarga harapan hingga bantuan pangan non-tunai. Bahkan juga masuk dalam kepesertaan BPJS Kesehatan. "Jadi (peristiwa itu) gak ada konteks dengan kemiskinan." pungkasnya.
Dengan adanya kasus ini, menandakan bahwa kurangnya kesadaran Indonesia akan kesehatan kejiwaan baik pada diri sendiri maupun pada lingkungan sekitar (orang lain) sangat kurang. Dan pada faktanya, kita tidak bisa memungkiri bahwa kejiwaan merupakan suatu kesehatan yang akan selalu berkesinambungan dengan kesehatan fisik. Sehingga ketika jiwa kita sudah mulai tidak tertolong, maka tidak akan ada yang bisa mengendalikan diri kita sendiri maupun orang lain karena kita melakukannya di luar batas kesadaran. Tentunya hal ini harus segera ditangani oleh pihak yang lebih profesional pada bidang kesehatan jiwa yang memiliki beberapa mekanisme rehabilitas pada penderita. Namun, sayangnya masih banyak sekali keluarga atau pribadi yang menganggap bahwa gangguan jiwa dapat sembuh seiring berjalannya waktu.
Ditambah dengan jumlah rumah sakit jiwa di Indonesia yang jumlahnya sangat terbatas, ini menandakan bahwa Indonesia memiliki krisis wadah untuk penyembuhan penderita gangguan jiwa. Hal ini sangat disayangkan karena tidak adanya inisiatif dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia pada negara. Untuk itu, para tenaga profesi dan pemerintah harus lebih mengerahkan lagi tenaga nya dalam peringatan gangguan jiwa dini agar kasus ini tidak dapat terulang di keluarga yang lainnya. Para tenaga profesi juga pemerintah bisa melakukan program awareness kesehatan jiwa baik melalui daring maupun luring.
Selain itu, pada pasangan yang akan menginjak pernikahan maupun yang sudah menginjak pernikahan perlu adanya komunikasi dan persiapan yang matang. Hal ini juga termasuk dalam kejujuran dari apa yang masing-masing rasakan dan apa yang masing-masing inginkan. Karena penyebab dari penderita depresi biasanya disebabkan oleh adanya trauma, terlalu sering memendam, atau overthinking. Dengan itu bisa dicegah dengan mulai jujur dalam mengutarakan perasaan masing-masing pasangan sehingga anak tidak akan terlibat atau bahkan menjadi korban di kejadian yang sangat tragis. Karena seperti yang kita ketahui, anak tidak akan pernah bisa memilih orang tua nya siapa dan seperti apa. Tetapi kita bisa memilih untuk menjadi orang tua yang seperti apa. Pastinya mereka sangat tidak pantas mendapatkan perlakuan tersebut dari seseorang yang berusaha mereka percaya ketika mereka lahir hingga proses pertumbuhannya selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H