Mohon tunggu...
Atasur Atasur
Atasur Atasur Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mimpi Pemuda Penggali Jalan (1)

19 September 2016   13:18 Diperbarui: 19 September 2016   13:34 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Awal 90-an. Di sebuah dusun kecil selatan Jawa. Seorang lelaki kecil dengan mimpinya. Saat itu, di tengah jam pelajaran, gurunya bertanya pada tiap-tiap muridnya, apa cita-cita kalian?  Semua sunyi. Diam. Tak paham apa yang ditanyakan. Cita-cita, tidak ada dalam perbedaharan kata kami yang sehari-hari bergelut dengan arit di sawah, mencari rumput untuk beberapa ekor kambing atau sapi. Sekolah hanya sampingan, sekedar masa tunggu menjadi baligh, sebelum dibawa pergi ke Jakarta menjadi buruh bangunan atau berjaja koran.

Guru, polisi, dokter, presiden… Satu-satu, kami menyebutkan. Tentu setelah Pak Guru susah payah menjelaskan. Bahwa setiap orang harus punya keinginan menjadi apa kelak di masa depannya. Aku sebenarnya belum paham betul penjelasan Pak Guru. Wartawan, jawabku sekenanya. Beliau diam. Lalu beralih dengan pertanyaan sama ke teman sebangkuku. Dengan ranking kelas hanya 15 besar, cita-cita itu cukup masuk akal. Toh, pada akhirnya akan kandas seperti embun di ujung rumput yang biasa kami babat.

Waktu berjalan. Perpisahan teman-teman sekolah dasar dilakukan. Sempat terdengar rencana akan ada wisata temapt wisata di kabupaten sebelah. Tapi, batal karena hanya 3 murid dan orang tuanya saja mampu bayar.

Dan malam itu, beberapa hari setelah kelulusan, terasa panjang dan mendebarkan. Bayangan tentang Kota Jakarta berkelebatan. Besok aku akan pergi ke sana. Untuk kali pertama. Bukan Jakarta sesungguhnya, tapi Tangerang. Di kota itu banyak projek bangunan tengah dikerjakan; perumahan, apartemen, gedung bertingkat, aspal jalan, hingga galian kabel. Hampir seminggu, masih saja aku terkagum-kagum dengan suasana kota. Ramai dan selalu terang. Tidak siang, tidak malam.

Ah, aku yang belia penuh semangat mengayun cangkul menggali tanah kering di bahu jalan. Kalau cuma ini mah, makanan sehari-hari di kampung. Sesekali kuteguk teh manis di plastik. Hingga sore menjelang, aku hanya berhenti untuk makan siang. Malam pun tiba, kurebahkan badan di emperan toko tak jauh dari lokasi projek. Lamat-lamat suara adzan lewat begitu saja. Tuhan hanya ada bagi yang kerja enak.

Aku masih muda. Empat belas tahun, dari kampung yang hanya beberapa rumah saja diterangi listrik saat malam. Tak pernah tahu siapa itu Jerry Siegel dan Joe Shuster. Aku menemukan namanya di koran alas tidur semalam. Kelak, kuketahui keduanya pembuat tokoh Superman. Belum genap 18 tahun usia keduanya saat menciptakan sosok legendaris itu. Masih sangat muda.

Dan dua tahun hidup sebagai buruh kasar di kota mulai membuatku boyak. Aku mulai berpikir untuk mengubah ini. Aku masih muda, masih punya kesempatan yang sama untuk menciptakan tokoh superman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun