Oleh Sirilus Gonsi
Hidup damai merupakan sebuah harapan yang selalu diperjuangkan oleh masyarakat Indonesia yang multikultural. Fakta pluralitas ini adalah sebuah kekayaan budaya yang dipelihara oleh bangsa Indonesia. Semboyan Bhineka Tunggal Ika menjadi falsafah dan pegangan hidup dan kesadaran sosial bangsa Indonesia.
Pluralitas itu sendiri dalam dirinya kadang mengundang konflik, jika ada dominasi budaya yang satu terhadap budaya yang lain. Kalau hal ini yang terjadi, maka konflik merupakan fenomena yang tak terbantahkan dan sulit dihindari dalam komunitas sosial indonesia. Kadang sikap harmoni palsu juga  adalah penyulut konflik sosial. Harmoni palsu maksudnya adalah sikap toleransi yang asal-asalan tanpa melalui sebuah kesadaran dari dalam diri sendiri akan pentingnya pluralitas dalam hidup bersama.
Pluralitas Indonesia adalah sebuah kekayaan dan kemiskinannya. Kekayaan jika pluralitas itu dikelola dengan baik melalui cara hidup yang damai. Kemiskinannya jika pluralitas itu menimbulkan berbagai konflik sosial yang menghasilkan sikap disintegrasi bangsa.
Demi menunjang hidup damai dan harmonisasi hidup, orang Manggarai memperjuangkannya melalui norma adat yang sudah disepakati bersama oleh komunitas penganutnya. Â Ris, Ruis, Raes, dan Raos merupakan norma adat yang menjadi pegangan hidup dan mesti dipraktikkan dalam kehidupan bersama untuk mencapai kedamaian dan keharmonisan dalam hidup. Ris, Ruis, Raes, dan Raos adalah suatu sikap dalam mewujudkan eksistensi diri saat ada bersama dengan yang lain dalam kehidupan bermasyarakat.Â
Ris, Ruis, Raes, dan Raos merupakan cara "mengada" bersama untuk tujuan kebaikan hidup sosial. Ris, Ruis, Raes, dan Raos adalah suatu sikap hidup yang sudah dibakukan melalui kesepakatan bersama berdasarkan pertimbangan rasional untuk ada bersama dengan yang lain dalam kedamaian hidup.
Ris, Ruis, Raes, dan Raos adalah kesadaran yang telah menyatu dalam pikiran dan tindakan orang manggarai demi eksistensi dirinya dalam proses ada bersama atau hidup bersama dengan yang lain dalam komunitas sosial dan dalam masyarakat. Yustina Ndung (2019, p. 28) mengemukakan bahwa Ris, Ruis, Raes, dan Raos merupakan filosofi yang merukunkan dan membangun keselarasan, harmoni kehidupan dalam proses ada bersama.
1. Ris (memberi salam, menyapa, menegur)
Ris adalah konsep komunikasi sosial yang telah menyatu dalam pikiran dan tindakan, serta kebiasaan yang mesti dilakukan saat menerima tamu, atau bertemu dengan orang lain (sesama manggarai). Ris adalah komunikasi verbal dan merupakan norma adat manggarai yang harus dilakukan saat menerima tamu. Ris adalah sikap yang harus dibarengi dengan sikap badan/gestikulasi tubuh serta bahasa tubuh yang ramah, sambil memberi senyum dan tutur kata yang sopan dalam menyambut tamu. Saat melakukan ris , ucapan salam dan sikap badan mesti seimbang supaya terjadi komunikasi yang komunikatif antara orang yang memberi ris dan orang yang menerima ris.Â
Sikap ris ini dipraktikkan seperti berikut ini: misalnya Abdul bertamu di rumahnya Frans. Abdul adalah Tamu dan Frans adalah pemilik rumah yang menerima tamu (menerima Abdul). Yang melakukan  aksi ris adalah Frans. Ketika Abdul masuk rumahnya Frans, Frans mempersilahkan Abdul untuk duduk terlebih dahulu, setelah itu baru Frans melakukan tindakan ris melalui jabat tangan, dan setelah jabat tangan kemudian ris melalui pertanyaan seperti  ite, mai se'e antung ko?Â
Bisa juga dengan  pertanyaan berikut ini: ite, lejong ko? Jika diterjemahkan secara harafiah yaitu Tuan, berkunjung Kah? Ris ini mesti dijawab oleh tamu dengan jawaban io (ya), bisa juga dengan mengangguk. Setelah tamu menerima ris ini, baru dia bisa kemukakan tujuannya berkunjung atau bertamu.