Dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tujuan pembangunan berkelanjutan untuk mencapai kemajuan negara-negara di dunia tahun 2030 telah ditetapkan yaitu dengan mencapai zero hunger world atau angka kelaparan nol di seluruh dunia, dan memberantas kelaparan dan gizi buruk di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
   Menurut laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), jumlah masyarakat kelaparan dunia kembali meningkat dari 777 juta pada tahun 2015 menjadi 815 juta pada tahun 2016. Angka Kelaparan Global (Global Hunger Index) Indonesia, yang diterbitkan oleh International Food Policy Research Institute (IFPRI), posisi Indonesia menurun dari tingkat kelaparan minimum di posisi 19,1 menjadi 22,1 pada tahun 2016, dan menjadi 22 pada tahun 2017. Data Global Hunger Index pada 2020 menunjukkan Indonesia menempati peringkat 70 dari 107 negara dengan data yang cukup untuk menghitung skor GHI 2020. Dengan skor 19,1, Indonesia memiliki tingkat kelaparan yang sedang, dan kondisi ini dialami oleh sekitar 20-40 persen masyarakat.
   Kelaparan dan gizi buruk merupakan salah satu penyebab utama kematian di berbagai belahan dunia. Banyak faktor penyebab tejadinya kelaparan seperti kemiskinan, ketidakstabilan sistem pemerintahan, penggunaan Iingkungan yang melebihi kapasitas, diskriminasi dan ketidakberdayaan seperti pada anak-anak, wanita, dan lansia. Demikian juga terbatasnya subsidi pangan, meningkatnya harga-harga pangan, menurunnya pendapatan ril dan tingginya tingkat pengangguran merupakan faktor utama penyebab terjadinya kelaparan. Bumi sebagai tempat tinggal menyediakan berbagai sumber daya alam, tapi akses yang tak setara mengakibatkan jutaan orang di dunia mengalami kelaparan dan malnutrisi. Oleh karena itu, dengan menerapkan agrikultur yang berkesinambungan dengan tekonologi modern yang tersedia serta sistem distribusi yang adil, diharapkan semua bahan pangan yang ada dapat mencukupi kebutuhan populasi dunia sehingga dunia bebas dari kelaparan.
   Dalam mewujudkan zero hunger, peran mahasiswa juga sangat dibutuhkan. Mahasiswa sebagai Agent of Change, yaitu mahasiswa memberi kontribusi nyata terhadap masyarakat. Mahasiswa sebagai Control Sosial, yaitu mahasiwa sebagai seseorang yang memiliki Pendidikan tinggi di masyarakat tentunya harus kritis dan peduli terhadap semua problematika yang terjadi di masyarakat. Salah satu inovasi yang dapat dilakukan oleh mahasiswa yaitu dapat melibatkan teknologi untuk membuat sebuah aplikasi atau website sehingga aplikasi tersebut dapat menjadi penghubung antara produsen (petani) atau distributor dengan produsen. Dengan adanya aplikasi atau website seperti ini memudahkan produsen untuk memasarkan hasil produknya. Tidak cukup sampai di sana, mahasiswa juga wajib mendampingi, mengedukasi, dan membimbing para produsen hingga mereka dapat memasarkan produknya, arena mayoritas petani masih dalam tahap belajar dalam penggunaan smartphone.
   Selain itu, mahasiswa dapat melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk menyadarkan masyarakat betapa pentingnya memberikan gizi seimbang terutama gizi pada anak yang sedang mengalami masa pertumbuhan dengan cara menjelaskan gizi yang terkandung dalam setiap makanan, jenis makanan apa saja yang harus dikonsumsi untuk menyokong pertumbuhan anak, serta menjelaskan dampak positif dari pemberian gizi seimbang dan dampak negatif dari malnutrisi. Mahasiswa juga dapat melakukan penyaluran bantuan pangan bagi masyarakat rawan pangan kronis (berpendapatan rendah) dan transien (darurat bencana). penguatan sistem surveilans pangan dan gizi termasuk pemantauan pertumbuhan.
Tidak hanya itu saja, masih banyak inovasi-inovasi lainnya yang dapat dilakukan oleh para mahasiswa untuk membantuk menurunkan angka kelaparan dan gizi buruk di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H