Puasa di perantauan tahun ini terasa berbeda. Sahur dan berbuka tak lagi ditemani hangatnya keluarga. Sendiri, di perantauan ini, aku harus menjalaninya dengan penuh perjuangan. Mungkin perasaan ini mewakili kalian juga, baca sampai akhir okeyy!
Sahur Sepi, Berbuka Sederhana
Setiap pagi, aku harus bangun lebih awal untuk menyiapkan sahur. Tak ada lagi masakan ibu yang menanti di atas meja, tak ada lagi teriakan yang membangunkan diriku. Terkadang, aku sahur bersama teman, tapi tak sehangat bersama keluarga di rumah.
Berbuka pun tak kalah sepi. Menu berbuka yang biasanya tersaji istimewa di rumah, kini hanya biasa saja. Bukan karena makanannya tetapi orang yang menghidangkannya. Â Mungkin di perantauan ini aku lebih sering makan lele, ayam, atau makanan enak lainnya, tapi rasanya kalah dengan masakan ibu walaupun hanya sekedar tahu tempe.
Magang Berat, Penilaian Subjektif
Di tengah kesibukan berpuasa, aku juga harus menjalani magang di bidang administrasi. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik. Datang tepat waktu, mengerjakan tugas dengan penuh tanggung jawab, dan selalu aktif dalam menyelesaikan masalah.
Namun, kenyataan tak sesuai harapan. Aku mendapatkan nilai magang yang kurang memuaskan. Alasannya? Subjektifisasi dari pimpinan magang. Aku merasa kecewa. Perasaanku campur aduk, sedih, lelah, dan frustrasi. Hati terasa sakit dan putus asa, pikiran berkunang-kunang hebat. Sudah bekerja semaksimal mungkin, namun tidak dihargai. Belum lagi tuntutan rekognisi mata kuliah yang bejibun laporannya. Semoga saja kuat sampai tamat...
Tetap Semangat, Mencari Hikmah
Meskipun dihadapkan dengan berbagai rintangan, aku tak ingin menyerah. Aku terus berusaha untuk menjalani puasa dengan sebaik mungkin. Walau menjalaninya dengan "Ya Allah-Ya Allah". Puasa di perantauan mengajariku arti kemandirian dan kesabaran. Aku belajar untuk mengurus diri sendiri, bersabar, dan terus bersabar, bersabar untuk menghadapi situasi yang sulit walaupun aku tahu aku tidak baik-baik saja.
Di bulan Ramadhan ini, aku berdoa agar Allah SWT memberikan kekuatan dan ketabahan untuk menjalani sisa bulan puasa di perantauan ini. Aku berharap, nilai magangku dapat dipertimbangkan kembali dengan objektif. Dan yang terpenting, aku ingin selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan. Aku yakin, Allah SWT selalu bersamaku dalam setiap langkahku.
Pesan untuk Teman-teman Perantau
Bagi teman-teman perantau yang juga merasakan hal yang sama, janganlah bersedih. Kita tidak sendiri. Mari kita jadikan bulan Ramadhan ini sebagai momentum untuk belajar dan meningkatkan diri. Tetap semangat dan jangan mudah menyerah. Semoga Allah SWT memberikan kemudahan dan kelancaran bagi kita semua dalam menjalani ibadah puasa di perantauan ini.
SEMANGAT MAGANG BUDAK CORPORATE!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H