(Seorang politikus berdiri di panggung, di hadapan kotak suara yang telah menyaksikan perjalanannya selama puluhan tahun. Ia memandanginya dengan penuh pengharapan dan nostalgia.)
Kotak suara pun berbicara.
Aku adalah kotak suara setia, saksi bisu dari empat pemilu yang telah kita lalui bersama. Pada tahun 2009, aku pertama kali menyambutmu dengan harapan yang membuncah.Â
Engkau, yang pada saat itu masih seorang pemula sebagai wakil dari wanita yang luar biasa, berdiri tegar di hadapanku, siap untuk melangkah untuk membantu membangun bangsa dan negara.
2014, kau kembali menghadapiku. Tak lagi seorang yang asing, namun sebagai pejuang yang semakin matang. Bersama partaimu dan visi misimu yang terus bertahan, kau menghadap tantangan dengan gagah berani. Meski hasilnya tak sesuai harapan, namun semangatmu selalu abadi.
2019, ketiga kalinya kau menghampiriku. Suara-suara yang mengiringimu terdengar semakin kuat, semakin jelas.Â
Kau telah menjelma menjadi sosok yang disegani, yang diharapkan oleh banyak orang untuk memimpin bangsa ini menuju arah yang lebih baik. Namun Tuhan berkehendak lain, tapi setidaknya kau bukan oposisi, dan masuk kedalam untuk membangun negeri.
Dan kini, pada tahun 2024, engkau datang kembali dengan wakil pemuda negeri. Kali ini bukan sebagai seorang kandidat, melainkan sebagai seorang pemenang. Suaramu telah terdengar di seluruh penjuru negeri, dan rakyat mempercayakan masa depan mereka padamu.
Selama empat pemilu, aku menyaksikan perjuanganmu. Aku melihatmu bekerja keras, mengorbankan waktu, tenaga, dan bahkan kesehatanmu demi bangsa dan negara. Kau adalah contoh nyata dari pengabdian yang tulus, dan pengorbanan tiada henti.
"Kau telah menua bersamaku", kata kotak suara.Â