Di pojok jalan, warung sederhana berdiri,
Tempatku bertemu dia, dalam semerbak Indomie.
Langit mulai gelap, lampu warung menyala terangi,
Kisah cinta kita pun dimulai, di antara bumbu dan mie.
Dia datang dengan jaket lusuh, rambut sedikit berantakan,
Memesan Indomie rebus, extra pedas, tanpa telur, berani.
Aku di seberang, menyimak, dengan Indomie goreng di tangan,
Sedikit tertawa, melihat dia bersin, "Pedasnya kebangetan!"
Malam demi malam, warung ini jadi saksi,
Kita berbagi cerita, lelucon, hingga rasa hati.
Indomie goreng dan rebus, jadi saksi bisu,
Cinta yang tumbuh, sederhana tapi begitu rindu.
Suara kompor gas, canda tawa penjual mie,
Menjadi irama, melodi cinta yang unik dan berbeda.
"Tambahkan sambal lagi?" tanyanya dengan senyuman nakal,
"Jangan, nanti aku yang jadi korbanmu," jawabku geli.
Hujan turun, kita berteduh, di bawah atap warung itu,
Berbagi payung, berbagi Indomie, berbagi rasa yang tak tertahan.
Siapa sangka, cinta bisa tumbuh di antara semangkuk mie,
Di warung Indomie, tempat yang tak pernah kita duga.
Kini, setiap kali lewat warung itu,
Senyum mengembang, mengingat balada cinta kita.
Warung Indomie, saksi bisu, romansa yang tak terlupa,
Di mana cinta bersemi, sederhana, di antara renyahnya gorengan dan hangatnya mie.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H