Kecil Penuh Impian, Dewasa Penuh Renungan
(Atanshoo)
Di sudut masa kecil, kita bermain dengan impian, Â
Langit biru tak pernah terasa begitu jauh. Â
Kita berlari, tertawa, dengan hati yang ringan, Â
Dunia di mata kecil, ah, begitu luas dan mudah.
Namun, waktu berjalan, tak kenal ampun atau belas kasihan, Â
Kita yang dulu kecil, kini dewasa dengan segala renungan. Â
Beberapa mimpi masih bertahan, namun banyak yang layu, Â
Dihantam realita, dihempas oleh kenyataan yang keras seperti batu.
Anak pertama, ah, bukan sekadar gelar atau panggilan, Â
Tetapi beban tanggung jawab yang terkadang terasa menghimpit. Â
Adik-adik yang harus disekolahkan, masa depan yang harus dibangun, Â
Setiap detak jam, setiap lembar kalender, bagai alarm tak henti.
Lalu ada rumah, tempat yang selalu kita impikan, Â
Untuk orang tua kita, yang telah berkorban tanpa kenal lelah. Â
Kita berjuang, menyisihkan setiap rupiah, Â
Demi sebuah harapan, agar mereka bisa tersenyum bahagia.
Dan tentu saja, cinta yang harus dipersiapkan, Â
Menikah, bukan hanya tentang dua hati yang berpadu. Â
Tetapi perencanaan, perhitungan, tentang masa depan dan dana, Â
Kadang cinta seolah tersedak oleh realita yang terlalu jelas terbaca.
Dalam kesunyian malam, kita sering merenung, Â
Apakah ini yang dinamakan dewasa? Ataukah hanya penat tanpa henti? Â
Kita mengingat kembali, kala kita kecil penuh impian, Â
Dan kini, dewasa penuh renungan, di persimpangan jalan yang tak pasti.
Namun, di balik semua itu, ada kekuatan, ada harapan, Â
Bahwa setiap tetes keringat, setiap detik usaha, tak akan sia-sia. Â
Kita belajar, kita tumbuh, dalam rasa sakit dan kebahagiaan, Â
Membangun mimpi dari kecil, menjadikan renungan dewasa sebagai nyata.