Mohon tunggu...
Atalia Taju
Atalia Taju Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

be good, do good!

Selanjutnya

Tutup

Film

Diplomasi Indonesia Era Kerajaan dalam Film "Sultan Agung"

28 April 2021   14:00 Diperbarui: 28 April 2021   14:03 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Sebelum Indonesia terbentuk menjadi sebuah negara, hubungan diplomatik telah terjadi di wilayah nusantara. Bangsa Indonesia sering berinteraksi dengan bangsa lain dalam hal perdagangan, penyebaran agama dan lain sebagainya. Pada era sebelum kemerdekaan, khususnya di era kerajaan sudah banyak terjadi kerjasama dengan bangsa lain, seperti antara kerajaan Aceh dan Amerika pada tahun 1873. Kedudukan kerajaan Aceh pada masa itu adalah kerajaan yang merdeka. Maka jika dilihat lagi, interaksi yang terjadi memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia di masa itu memiliki peradaban yang maju di tengah kekuatan global. Contoh lainnya adalah hubungan diplomatik pada masa kerajaan Mataram yang kisahnya dituangkan ke dalam sebuah film bernuansa sejarah berjudul Sultan Agung : Tahta, Perjuangan dan Cinta. Film ini menunjukkan bagaimana Sultan Agung Hanyokrokusumo atau Raden Mas Rangsang sebagai penguasa kerajaan Mataram menghadapi alur diplomasi yang ditawarkan VOC melalui perdagangan. Kerajaan Mataram adalah kerajaan Islam yang berdiri pada abad ke-17 di Pulau Jawa. Kerajaan Mataram mengalami kejayaan saat berada di bawah kepemimpinan Sultan Agung sejak 1613 - 1645. Kerajaan ini berbeda dengan kerajaan besar nusantara lainnya karena berbasis pertanian bukan berbasis maritim.

Dalam memimpin kerajaan Mataram, Sultan Agung banyak melakukan ekspansi untuk memperluas kerajaan dan daerah kekuasaannya. Sultan Agung juga ingin mewujudkan cita-cita dari Gajah Mada yang adalah seorang patih dari kerajaan Majapahit. Cita-cita Gajah Mada yakni ingin mempersatukan kerajaan dan wilayah nusantara. Cita-cita ini dituangkannya dalam Sumpah Palapa yang berbunyi : "Lamun huwus kalah nusantara, ingsun amukti palapa. Lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Baki, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa".

Pada masa itu VOC meminta izin kepada kerajaan Mataram untuk berdagang di sekitar daerah Mataram dengan maksud tertentu, hal tersembunyi itu ditangkap maksudnya oleh Sultan Agung yang kemudian mengajukan beberapa persyaratan seperti VOC harus membayar pajak sebesar 60% dari setiap produk yang terjual. Sultan Agung sebagai seorang raja menunjukkan sisi realis dalam menanggapi tawaran VOC yang dirasa merugikan dan menyengsarakan kerajaan Mataram. Sultan Agung menggunakan power yang dia miliki untuk membuat keputusan yang memberatkan VOC tetapi sangat menguntungan bagi kerajaan Mataram. Belum lagi saat itu sudah terdengar kabar bahwa VOC berhasil merebut Jayakarta dari kesultanan Banten, yang kemudian berubah nama menjadi Batavia. Namun disisi lain, salah seorang Tumenggung bernama Notoprojo menunjukkan bagaimana perspektif liberalis mengambil peran untuk menyetujui adanya kerja sama itu.

Kemudian Sultan Agung mengerahkan rakyatnya untuk belajar persenjataan modern dan bersiap-siap untuk menyerang Batavia yang sudah menjadi pusat kegiatan VOC saat itu. Meskipun gagal namun pasukan Mataram berhasil membunuh Jenderal J. P. Coen dari VOC dan memantik semangat kerajaan lain untuk berani melawan tindak tanduk VOC dan kompeni di wilayah mereka. Pemikiran, strategi, dan tindakan tegas Sultan Agung dalam memimpin, mengantarkan kerajaan Mataram pada kejayaan di masa itu. Kalimat tegas yang sangat membumi dari Sultan Agung adalah "Mukti utowo Mati"  yang artinya Menang atau Mati. Sifat Sultan Agung dalam mengambil setiap keputusan pun mencerminkan bagaimana ia sangat menghargai dan mencintai tanahnya sendiri. Seperti yang terlihat saat ia kembali ke kerajaan Mataram usai perang dan menghidupkan kembali padepokan di wilayah itu serta turut mengajarkan nilai-nilai agama, budaya dan kearifan lokal kepada para santri.

Hubungan diplomatik Indonesia pada masa itu, cenderung ditentukan oleh peran personalitas pemimpin mereka yang pada saat itu adalah seorang raja. Keputusan raja adalah hal mutlak dan pada saat itu Sultan Agung memilih jalan perang secara fisik, bukan hanya untuk menolak tawaran VOC namun Sultan Agung menginginkan VOC pergi meninggalkan nusantara karena melihat bagaimana Jayakarta atau Batavia yang berhasil diperdaya VOC saat itu. Perang itu memakan banyak sekali korban jiwa namun bagi Sultan Agung 'kita memang kalah, tapi kita menang karena telah berani melawan. Perjalanan ini akan diingat oleh anak cucu kita sebagai bentuk rasa cinta terhadap negeri kita sendiri'. Pada akhirnya, sejarah perjalanan diplomasi ini akan menjadi hal penting dalam pembahasan diplomasi di masa sekarang untuk diplomasi di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun