Dalam setiap perhelatan politik, kampanye selalu menjadi ajang unjuk kreativitas. Dari baliho raksasa hingga postingan media sosial, strategi kampanye terus berkembang mengikuti zaman. Dengan berkembangnya politik modern, salah satu bentuk kampanye yang semakin populer adalah penggunaan musik, yang konon telah menjadi alat yang efektif untuk menyampaikan pesan dan membangun citra kandidat. Sejak lama, musik telah menjadi bagian integral dari kampanye politik di berbagai belahan dunia. Lagu-lagu seperti; "Yes We Can" oleh William, yang terinspirasi dari pidato Obama, lagu ini melibatkan sejumlah artis terkenal dan menjadi ikon kampanye "Hope and Change", atau seperti lagu "Happy" oleh Pharrell Williams yang digunakan oleh Clinton untuk mencerminkan optimisme kampanye, meskipun tanpa izin dari artisnya dalam kampanye nya, sampai lagu "You Can't Always Get What You Want" nya Rolling Stones yang sering dimainkan di acara kampanye Trump meskipun artisnya menentang penggunaannya.Â
Di Indonesia sendiri, penggunaan lagu dalam konteks politik semakin populer, tidak hanya sebagai bentuk hiburan, tetapi juga sebagai alat mobilisasi massa yang sangat efektif. Pada Pemilu 2024, fenomena ini kembali mencuat melalui lagu seperti "Oke Gas" yang dipopulerkan oleh salah satu kubu kandidat presiden, yaitu kubu Prabowo Subianto. Dengan melodi yang mudah diingat dan lirik yang penuh semangat, lagu ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga alat politik untuk memobilisasi emosi dan mendekatkan kandidat kepada masyarakat. Dalam politik, penggunaan jingle hingga lagu sangatlah lumrah untuk dipakai sebagai strategi kampanye, selain bisa menjadi media yang efektif untuk membangun identitas politik seorang kandidat, lagu pun juga bisa memfasilitasi koneksi yang lebih dalam dengan para pemilih; baik kalangan tua, muda, hingga anak-anak, walaupun kalangan muda adalah sasaran empuk, yang secara behaviour lebih senang mengkonsumsi hal-hal yang menurut mereka menarik dan asyik. Ketika anak muda dirangkul dengan pendekatan musik yang asyik, besar peluang pasangan calon akan meraup banyak suara dari kalangan muda.
Sebelum bicara jauh tentang lagu Oke Gas dan bagaimana lagu ini menjadi strategi kampanye politik, ada baiknya kita mengenal siapa sosok dibalik lagu itu, adalah Richard Jersey, pemuda 27 tahun asal Talaud, Manado, Sulawesi Utara, yang berhasil mengenalkan dirinya dalam perhelatan politik kemarin dengan lagu Oke Gas. Sebelum akhirnya Richard bergabung dan berkolaborasi menjadi Tim Kampanye Nasional (TKN) kubu Prabowo, lagu Oke Gas versi pertama, sebenarnya dipertunjukan untuk lagu bagi para rapper-rapper diluar sana yang merasa dikucilkan, hingga dianggap kampungan, agar kedepannya bisa "Gas!". Kejelian TKN kubu Prabowo dalam mengamati linimasa perlu diapresiasi, setelah mereka mengetahui lagu Oke Gas versi pertama ini viral, mereka langsung bergerak cepat untuk menghubungi Richard, dan kini menjadi lagu resmi kampanye Prabowo. Richard kemudian membuat lagu berjudul "Oke Gas Prabowo Gibran Paling Pas", versi kedua, yang sesuai dengan perjuangan kubu Prabowo. Â
Lebih luas, penggunaan musik dalam politik bukan tanpa kritik. Pendekatan seperti ini seringkali mengorbankan substansi politik demi popularitas semata, yang dapat menimbulkan risiko terhadap kualitas demokrasi (Ellul, 1965). Lagu seperti "Oke Gas" memunculkan pertanyaan penting: apakah musik ini sekadar propaganda emosional tanpa substansi, ataukah benar-benar mencerminkan visi dan misi kandidat? Apakah pesan yang disampaikan melalui liriknya relevan dengan kebutuhan masyarakat, atau hanya menciptakan narasi semu untuk menarik simpati? Tak hanya itu, lagu ini juga menggarisbawahi bagaimana budaya populer---termasuk musik---dipolitisasi di era digital. Dengan penyebaran melalui platform seperti TikTok dan YouTube, lagu politik tidak hanya bertujuan untuk menyampaikan pesan, tetapi juga menciptakan branding dan viralitas. Hal ini menempatkan musik politik dalam posisi unik sebagai alat kampanye yang menggabungkan hiburan dan persuasi politik. Oleh karena itu, penting untuk menganalisis bagaimana lagu ini membangun narasi politiknya, serta sejauh mana ia menciptakan legitimasi atau justru menjadi propaganda dangkal.Â
Ketika musik bertemu politik, pesan yang disampaikan sering kali lebih dari sekadar hiburan, selalu dan lagi-lagi punya kepentingan di baliknya. Lagu "Oke Gas" yang menjadi bagian dari kampanye politik pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming, adalah bukti bagaimana seni menjadi alat pembentukan wacana. Melalui pendekatan dekonstruksi Jacques Derrida, kita dapat menggali lebih dalam tentang makna di balik lirik tersebut, terutama mengenai ambiguitas makna dan oposisi biner yang mungkin tersembunyi. Musik, sebagai produk budaya, memiliki kekuatan besar dalam membangun imajinasi sosial dan politik. Namun, Derrida dalam konsep dekonstruksinya berpendapat bahwa teks tidak pernah memiliki makna tunggal karena sifat bahasa yang cair dan sarat kontradiksi (Derrida, 1976). Hal ini membuat lirik lagu seperti "Oke Gas" menjadi subjek yang menarik untuk di-dekonstruksi, guna mengungkap ambiguitas dan pertentangan tersembunyi di dalamnya. Dekonstruksi adalah metode filosofis yang mempertanyakan interpretasi teks atau sejarah yang bersifat dominan atau konvensional, serta menolak gagasan tentang kebenaran yang absolut atau tunggal.Â
Selain sebagai perspektif filosofis, dekonstruksi juga mencakup gerakan akademis dan politik yang pada prakteknya menambah kerumitan dalam membedakan berbagai alternatif yang tersedia (Benjamin, 2013). Proses ini berfokus pada membongkar suatu hal ke dalam komponen-komponennya untuk memahami maknanya secara mendalam, terutama ketika terdapat perbedaan atau penyimpangan dari penafsiran yang telah ada sebelumnya. Singkatnya, Dekonstruksi oleh Derrida, adalah metode untuk membedah teks, membongkar struktur dan hierarki maknanya.Â
Dalam konteks lagu kampanye politik, pendekatan ini relevan karena bahasa dalam politik sering kali digunakan untuk menciptakan narasi tertentu yang mendukung kekuasaan atau tujuan ideologis. Pemikiran Derrida berpusat pada gagasan bahwa bahasa bersifat tidak teratur dan maknanya selalu berubah, sehingga tidak mungkin untuk menetapkannya secara pasti. Dengan demikian, makna dianggap tidak stabil, tidak pasti, sementara, dan terus mengalami penundaan. Dekonstruksi sendiri adalah pendekatan intelektual yang berakar dari pandangan postmodern (Mendie and Udofia, 2020). Bahasa, menurut Derrida, memiliki sifat diferensial---selalu menunda makna final. Hal ini karena kata-kata dalam teks bergantung pada konteks yang terus berubah (Derrida, 1976). Dalam kasus lagu "Oke Gas," lirik yang tampaknya sederhana dapat menyimpan berbagai lapisan makna dan kontradiksi, yang mencerminkan realitas sosial dan politik yang kompleks.
Ambiguitas Makna dalam Lirik "Oke Gas"Â
Mari kita lihat beberapa lirik kunci dalam lagu ini: "Kerja nyata paling jelas, berjuang tanpa batas." Sekilas, frasa ini menonjolkan optimisme dan kepercayaan diri pasangan calon, dengan klaim tentang "kerja nyata." Namun, jika kita dekonstruksi, makna dari "kerja nyata" sendiri menjadi sangat ambigu. Apa yang sebenarnya dimaksud dengan "kerja nyata"? Apakah istilah ini merujuk pada proyek pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi, atau pencapaian kebijakan tertentu? Ataukah, seperti banyak slogan politik lainnya, ia hanya menjadi ungkapan retoris tanpa ukuran konkret atau bukti substansial? Ambiguitas makna ini membuka ruang untuk berbagai interpretasi. Bisa jadi, lirik ini sengaja dirancang untuk memberikan kesan bahwa kubu Prabowo-Gibran adalah satu-satunya pihak yang mampu melakukan "kerja nyata." Dalam konteks politik kompetitif, narasi semacam ini berfungsi membangun oposisi biner: pasangan calon mereka digambarkan sebagai pihak yang "nyata," sementara pihak lain diasosiasikan dengan janji kosong atau tindakan yang tidak signifikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah klaim "kerja nyata" ini berdasar pada pencapaian faktual atau sekadar strategi komunikasi politik untuk mengukuhkan citra? Selain itu, klaim "berjuang tanpa batas" juga memiliki elemen retorika yang mengaburkan realitas politik. Dalam praktiknya, batas-batas perjuangan selalu ada, baik itu dalam bentuk kendala anggaran, hambatan birokrasi, atau dinamika politik yang kompleks.Â
Dengan mengklaim "tanpa batas," lirik ini mengangkat ekspektasi yang mungkin sulit diwujudkan, sehingga berpotensi menciptakan kekecewaan di kemudian hari ketika batasan-batasan tersebut mulai terlihat. Dalam konteks politik Indonesia, istilah seperti "kerja nyata" sering kali menjadi jargon yang sulit diverifikasi dan cenderung digunakan untuk membangun citra positif tanpa substansi mendalam (Sulistyo, 2020). Pendekatan ini memperkuat kritik bahwa politik elektoral di Indonesia masih sangat retoris, dengan fokus pada membangun persepsi publik ketimbang menawarkan solusi konkret. Dalam dekonstruksi Derrida, keambiguan semacam ini mencerminkan bagaimana makna tidak pernah final dan terus berubah sesuai dengan konteks dan interpretasi audiens. Hal ini membuka ruang bagi kritik terhadap strategi komunikasi politik yang lebih berfokus pada membangun ilusi kesempurnaan ketimbang menghadirkan kejujuran.
Lirik selanjutnya ialah; "Hidup yang sulit, silakan pamit" Kalimat ini secara eksplisit memproyeksikan optimisme, tetapi sekaligus mengandung eksklusi sosial. Siapa yang dimaksud dengan "hidup yang sulit"? Dan mengapa mereka harus "pamit"? Dalam realitas sosial, tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap "masa depan emas" yang dijanjikan. Dari lirik ini juga, dengan sadar, berhasil menyepelekan suatu hal tertentu, apa sebenarnya tujuan "yang sulit silahkan pamit", apa ini tanda bahwa kedepan nya, kesulitan-kesulitan hanya mempunyai satu solusi yaitu "pamit"? ada kesan yang ditinggalkan bahwa, hal-hal yang akan dirasa "sulit", sebaiknya, dan mending pamit saja. Terdengar seperti kemalasan dalam mencari solusi. Ambiguitas makna dalam lirik ini menguatkan gagasan tentang oposisi antara "yang layak" dan "yang tidak layak," memperkuat hierarki sosial yang implisit (Anderson, 1991).Â