Di tengah kilau dunia jurnalistik online yang penuh dinamika, nyatanya masih terselip bayang-bayang kesenjangan gender yang tak kunjung pudar. Perempuan jurnalistik berjuang menembus dinding bias dan ketidakadilan, melawan serangan yang sering kali lebih kejam dari berita yang mereka tulis. Mereka tak hanya bertarung demi posisi di ruang redaksi, tetapi juga demi suara yang lebih adil dalam narasi yang membentuk dunia. Dalam medan yang seharusnya menjadi cerminan keadilan, ketidaksetaraan ini meredupkan cahaya keberagaman, merenggut cerita-cerita yang tak terkatakan.
      Kesenjangan gender tampak jelas dalam jarak yang memisahkan akses dan penguasaan atas sumber daya berharga---seperti kekayaan ekonomi, finansial, dan teknologi. Dalam bayang-bayang ketidaksetaraan, perempuan sering kali hanya menerima remah-remah upah dan kesempatan kerja yang lebih sempit dibandingkan pria. Suara mereka sering terbenam dalam proses pembangunan, dari perencanaan hingga evaluasi, seolah tidak ada tempat bagi mereka untuk menyuarakan kontribusi mereka yang berharga.
      Perempuan sering kali terjebak dalam lingkaran harapan yang mengikat mereka pada tanggung jawab rumah tangga, perawatan anak, hingga tugas-tugas domestik yang membatasi kesempatan mereka untuk menjelajahi dunia kerja. Dengan beban peran sosial yang tradisional---mengurus rumah dan anak-anak---seringkali mereka terpaksa menunda ambisi profesional mereka. Akses mereka terhadap pendidikan dan pelatihan yang mendukung karier yang lebih tinggi seringkali terbatas. Secara global, partisipasi perempuan dalam dunia kerja hanya mencapai sekitar 47%, jauh di bawah 72% partisipasi pria.
      Perempuan lebih sering terjebak dalam pekerjaan dengan gaji rendah dan fleksibilitas terbatas, seperti di bidang perawatan dan pendidikan. Di banyak tempat, tantangan transportasi yang aman dan nyaman juga menjadi penghalang tambahan, terutama di negara-negara berkembang. Selain itu, mereka sering kali menghadapi diskriminasi dan stereotip yang membatasi kesempatan mereka untuk berkembang, dengan harapan untuk bekerja paruh waktu atau dalam posisi yang kurang bernilai.
      Laporan Pew Research Center mengungkapkan potret buram kesenjangan dalam lanskap berita. Jurnalis pria berlayar di lautan olahraga, politik, dan sains, medan yang dianggap penuh prestise dan kuasa. Sementara itu, jurnalis wanita, bak penjaga cerita kehidupan, lebih sering terikat pada ranah kesehatan, pendidikan, keluarga, dan isu sosial---topik yang dekat dengan hati tetapi kerap dianggap pinggiran. Dari sebelas topik yang terhampar, hanya tiga yang didominasi oleh suara wanita, memperlihatkan jurang yang masih lebar antara harapan kesetaraan dan kenyataan yang ada.
      Menurut laporan International Women's Media Foundation (IWMF), hanya 23 % dari posisi-posisi kunci di media online di seluruh dunia yang diisi oleh perempuan. Meski dari setengah perusahaan media memiliki kebijakan tentang kesetaraan gender,  "atap kaca" masih membatasi perempuan di 20 dari 59 negara yang diteliti, terutama dalam posisi manajerial menengah dan senior. Selain itu, hanya sekitar 20% narasumber dalam berita online adalah perempuan, sementara 80% adalah laki-laki, menunjukkan adanya kesenjangan signifikan dalam partisipasi perempuan sebagai narasumber di media online.
      UNESCO melaporkan bahwa jurnalis wanita kerap menghadapi badai serangan dan pelecehan yang merongrong semangat dan pekerjaan mereka. Ancaman-ancaman ini tak hanya melukai secara personal, tetapi juga memperparah jurang ketimpangan gender dalam jurnalistik. Banyak dari mereka terpaksa mundur dari medan liputan yang lebih keras, atau memilih jalan yang lebih aman dan tenang, jauh dari sorotan berbahaya. Ketidakadilan ini seakan membungkam suara mereka, mengurangi kehadiran perempuan di berita-berita yang seharusnya menyuarakan keberanian dan kebenaran, dan mengikis semangat untuk bertahan dalam profesi yang mereka cintai.
      Serangan dan pelecehan yang dihadapi jurnalis wanita menciptakan hambatan yang signifikan dalam dunia jurnalistik, mengurangi kehadiran mereka dan membatasi peran mereka dalam berita yang penting. Namun, di tengah tantangan tersebut, ada upaya berani untuk melawan ketimpangan ini. Menurut Reuters Institute, di negara-negara Selatan Global, beberapa ruang redaksi yang dipimpin oleh wanita, seperti Boju Bajai di Nepal dan AzMina di Brasil, berupaya mengubah budaya jurnalistik dengan fokus pada liputan isu-isu penting bagi wanita dan kelompok kurang terwakili. Inisiatif ini berkontribusi pada penguatan suara wanita dan perbaikan representasi gender dalam media, meskipun masih menghadapi tantangan besar seperti stigma dan pelecehan.
      Upaya menjembatani jurang kesenjangan gender kini semakin nyata melalui berbagai inisiatif yang kian tumbuh. Penelitian mengungkap bahwa kebijakan internal yang lebih inklusif bagaikan angin segar, memberi ruang bagi perempuan untuk melangkah ke posisi kepemimpinan yang selama ini sulit diraih (Byerly, 2011). Selain itu, kebijakan yang mendukung keseimbangan antara kehidupan kerja dan fleksibilitas peran membuka pintu lebih lebar bagi perempuan jurnalis untuk aktif berperan di wilayah yang dulu hanya dikuasai laki-laki (North, 2016). Namun, perubahan yang sesungguhnya hanya akan lahir jika kebijakan ini diiringi oleh transformasi budaya di ruang redaksi, di mana bias gender dan stereotip tak lagi menjadi hal yang wajar.
      Pentingnya pelatihan profesional yang khusus ditujukan untuk perempuan jurnalis juga ditegaskan oleh International Women's Media Foundation (IWMF). Program pelatihan ini memberikan perempuan akses terhadap keterampilan yang diperlukan untuk bersaing secara adil dalam industri media, serta membantu mereka menghadapi tantangan-tantangan yang kerap dihadapi di lapangan, seperti ancaman kekerasan dan pelecehan (IWMF, 2020). Penelitian UNESCO (2021) juga menggarisbawahi bahwa pemberian akses yang lebih luas terhadap teknologi dan sumber daya digital kepada perempuan dapat memperkecil kesenjangan dan meningkatkan partisipasi perempuan dalam berita dan narasi yang lebih beragam.
      Dengan meningkatnya cahaya pemahaman akan pentingnya kesetaraan gender dalam media, inisiatif untuk memperkuat representasi perempuan di posisi manajerial dan memperjuangkan hak-hak jurnalis perempuan harus terus disemai, seperti benih harapan yang tumbuh di ladang keadilan, hingga kelak mekar menjadi kesetaraan yang sejati. Penelitian menunjukkan bahwa ketika perempuan diberi ruang yang setara, mereka mampu menyulam narasi media dengan benang perspektif yang lebih inklusif, menggambarkan kisah-kisah dari kelompok yang selama ini terpinggirkan (Gallagher, 2014). Untuk mendorong perubahan ini, kita harus mendukung kesetaraan gender, membuka jalan bagi suara-suara tersembunyi, dan membangun jurnalisme yang lebih inklusif dan adil. Hanya dengan usaha bersama kita dapat menciptakan industri yang mencerminkan keberagaman, melangkah menuju masa depan yang lebih terang dan berimbang.            Â