Mohon tunggu...
Asyifa Qurratu Aini
Asyifa Qurratu Aini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Universitas Negeri Jakarta

Seorang mahasiswa yang memiliki ketertarikan dengan pembahasan mengenai sosial dan kebudayaan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Membangun Jaringan Sosial melalui BLT: Bentuk Tanggung Jawab Bersama dengan Perspektif CSR

2 April 2024   23:34 Diperbarui: 2 April 2024   23:48 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengenai Bantuan Langsung Tunai (BLT)

Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah program yang memberikan bantuan berupa uang tunai atau bantuan lainnya dari lembaga yang berwenang kepada kelompok tertentu, tujuannya adalah untuk membantu pihak tersebut memenuhi kebutuhannya dan meningkatkan kualitas hidup. Pihak penerima BLT dapat berasal dari berbagai kalangan, tergantung ketentuan penyelenggara program. Maka sebelum dilaksanakan BLT, pada tahap perencanaan, akan ditetapkan sasaran penerima BLT yang disesuaikan dengan karakteristik serta goals program dan penyelenggara.

Pemberian BLT umumnya berbentuk uang tunai, meskipun begitu ada jenis dan bentuk BLT tertentu. Indonesia sendiri termasuk negara yang mengimplementasikan BLT, biasanya dilakukan dengan pemberian kompensasi seperti uang tunai, namun juga dapat berbentuk bantuan pangan, jaminan kesehatan, serta kesempatan pendidikan bagi masyarakat yang membutuhkan. Salah satu contoh pelaksanaan BLT misalnya yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memperbaiki gizi masyarakat di wilayah permukiman kumuh, pemerintah memberikan bantuan berupa uang tunai serta sembako untuk masyarakat menyambung hidup.

Pelaksanaan BLT tentu memberikan dampak, baik itu positif ataupun negatif. Pertama, dampak positif. Penyaluran BLT secara cepat tentu dapat meredakan krisis yang dialami oleh kelompok tertentu. Sebagai contoh adalah masyarakat kelaparan, pemberian uang dan sembako dapat langsung dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. 

Selanjutnya, BLT yang disalurkan dengan pemberian akses langsung dapat memberikan kemudahan bagi masyarakat rentan. Jika sebelumnya masyarakat tersebut mengalami kesulitan dalam mengakses layanan (contoh: kesehatan, pendidikan), BLT membantu mereka untuk mendapatkan akses yang lebih mudah dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Lebih lanjut, BLT dapat melepaskan masyarakat dari jeratan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. 

Secara luas, apabila masyarakat sudah tergolong sejahtera, maka kesenjangan antar kelompok masyarakat telah berhasil diminimalisir. Selain itu, pemberian BLT juga meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah atau pihak lain yang menyelenggarakan BLT, ini karena pelaksana program BLT dipandang memiliki keperdulian tinggi.

Kedua, di samping dampak positif, BLT juga berpotensi memberikan dampak negatif. Dampak negatif yang diberikan adalah bentuk-bentuk kesalahan dan penyalahgunaan, yaitu kesalahan penargetan sasaran penerima BLT serta penyalahgunaan penggunaan BLT. Tentu saja ini bersifat merugikan, karena poin-poin tujuan program BLT justru tidak terpenuhi. Lebih lanjut, salah target ini dapat berdampak pada munculnya kecemburuan sosial dari kelompok yang tidak mendapatkan BLT. 

Selain itu, pelaksanaan program BLT juga dikhawatirkan menimbulkan ketergantungan. Alih-alih berusaha mandiri dan bekerja, dikhawatirkan penerima BLT akan terlena dengan pemberian cuma-cuma dan berdampak pada ketergantungan. Padahal, pemberian BLT hanya bersifat temporer, yang jika dilakukan secara terus menerus justru akan memberi dampak buruk bagi negara, seperti: menambah beban anggaran negara, memperlambat reformasi struktural, hingga mendorong terjadinya inflasi.

Terlepas dari dampak positif atau negatif pemberian BLT, nyatanya hingga kini program BLT masih terus dilakukan sebagai upaya mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat rentan. Pelaksana program BLT pun beragam, tidak hanya dilaksanakan oleh ranah pemerintahan. Ya, di lain sisi pihak swasta juga turut melakukan program serupa dengan berbagai motif dan tujuan. Mengenai ini, biasanya pihak swasta membentuk divisi khusus untuk menjalankannya, divisi ini disebut sebagai Corporate social responsibility (CSR).

BLT dalam Konteks Pengembangan Masyarakat

Corporate social responsibility (CSR) merupakan bentuk tanggung jawab perusahaan guna menciptakan lingkungan yang lebih baik. Konsep dari CSR bermula saat revolusi industri, di mana perusahaan abai akan pekerjanya sehingga produksinya hanya menimbulkan masalah sosial dan lingkungan. Code Hammurabi menyatakan jika pelaku yang menyalahgunakan izin penjualan dan pelayanan buruk akan dapat hukuman mati, pernyataan ini dikembangkan oleh Howard Bowen yang memberi rumusan awal tanggung jawab sosial perusahaan-bisnis mempertimbangkan 3P (Planet, People, dan Profit). Lalu pada 1987 The World of Commision of Environment and Development merilis "Our Common Future" yang menegaskan poin pembangunan berkelanjutan. Pada mulanya, CSR belum memiliki batasan sepadan dan kesepakatan mengenai CSR, namun esensinya sama yaitu terkait keperdulian akan lingkungan di sekitarnya.

Singkatnya, perusahaan yang melakukan aktivitas di suatu wilayah dan aktivitasnya memberikan pengaruh bagi masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan (masyarakat terdampak), maka perusahaan wajib memberikan bentuk tanggung jawabnya kepada mereka. Berbagai kegiatan dilakukan dalam payung CSR, seperti: bantuan penyakit katarak, sunat gratis, bakti sosial ke panti, hingga pembagian sembako. Namun, masih terdapat kekeliruan atau salah kaprah mengenai CSR perusahaan. Jika dikaitkan dengan BLT, program CSR yang berupa bantuan tunai bukanlah CSR yang sepenuhnya, melainkan ialah charity. 

CSR berbeda dengan charity. Charity sendiri merupakan konsep CSR yang paling tua usianya dan paling sederhana, di mana perusahaan memberi sumbangan langsung dalam pemberian barang atau jasa pada masyarakat (tidak berlanjut). Jadi, perbedaan antara CSR dan charity adalah pada poin 'keberlanjutan', di mana CSR lebih kepada pemberdayaan dan memandirikan masyarakat-sedangkan charity tidak. Kembali kepada poin BLT dan charity, charity yang dilakukan perusahaan nyatanya memberikan keuntungan berupa peningkatan reputasi, penguatan bisnis perusahaan, serta memberikan solusi atas dampak masalah sosial secara cepat. Jadi, dengan charity-lah perusahaan dapat dengan cepat memberikan solusi dan turut ambil bagian dalam penanganan permasalahan sosial.

BLT sebagai Pembangun Jaringan Sosial

Walau terdapat implikasi yang kurang menguntungkan, nyatanya dampak positif dari BLT juga dapat memberikan pengaruh yang lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan. Dampak luas dari BLT yang lainnya ialah membangun jaringan sosial. Di mana BLT dapat menjalin serta memperkuat hubungan antar individu di masyarakat.

Ketika pelaksanaan BLT, maka masyarakat akan berada di lokasi yang sama dan tanpa disadari melakukan interaksi-interaksi inilah pintu pembuka konektivitas di antara masyarakat. Dalam interaksinya, masyarakat akan bertukar cerita dan informasi, sehingga di antara mereka menjadi 'saling memahami'. Ketika ditemukan kesamaan nasib, maka dirasakan kepentingan yang sama, dengan didukung oleh latar belakang yang sama akan dapat membentuk solidaritas. Solidaritas dan rasa kebersamaan ini lah yang menjadikan masyarakat dapat bergerak bersama, membentuk jaring sosial yang didasarkan pada rasa senasib-sepenanggungan.

Masyarakat yang telah terikat akan lebih banyak melakukan kegiatan bersama, baik itu kegiatan kerja bakti, menjalani kegiatan keagamaan, hingga dalam melaksanakan kegiatan perayaan. Masyarakat yang menjalani kegiatan bersama mulai mengerti pola, kesempatan, dan kebutuhan. Mereka bertukar pikiran, dan kesamaan latar belakang menjadikan mereka bersama-sama pula berupaya mencari cara untuk melakukan sesuatu-termasuk pemenuhan kebutuhan. Akhirnya, masyarakat saling mendukung dan mengatasi masalah bersama.

BLT yang memberikan kepercayaan pada masyarakat terhadap pelaksana program berimplikasi pada masyarakat yang mau untuk turut berpartisipasi aktif-sehingga ini memungkinkan jaringan sosial pada masyarakat dapat terbentuk. Maka, masyarakat pun berusaha bekerja sama untuk saling membantu dalam memenuhi kebutuhan hidup dan mengatasi permasalahan yang dihadapi. Sebagai contohnya adalah ketika masyarakat d permukiman kumuh/tertinggal ditimpa bencana, lalu ada salah satu masyarakat yang mendapat bantuan, interaksi dan konektivitas antar masyarakat memungkinkan orang tersebut memberikan informasi kepada pihak yang belum mendapat informasi jika ada BLT yang dapat menyelamatkan mereka dari krisis atas bencana yang menimpanya. Siklus ini dapat berputar, seterusnya, diawali oleh kesamaan nasib, lalu terjalin jaringan sosial.

Lebih lanjut, BLT dapat menyasar masyarakat yang lebih luas. Di mana masyarakat tersebut bersama-sama bangkit dari krisis yang menimpanya. Jika masyarakat memiliki rasa senasib dan keinginan membantu sesama, maka tercipta rasa percaya dan solidaritas yang tinggi. Dengan kepercayaan dan rasa kebersamaan, masyarakat dapat hidup berdampingan dengan harmonis dan damai.

Maka dapat disimpulkan jika BLT dapat menjadi pemicu atas terjalinnya interaksi dan juga sebagai alasan mengapa masyarakat harus saling terkait dan membentuk jaringan dengan sesamanya. Sehingga dalam hal ini, BLT tidak hanya berupa bantuan barang atau jasa, melainkan pembentuk jaringan sosial dan solidaritas masyarakat. Masyarakat dapat saling mengerti dan bekerja sama untuk terlepas dari masalah yang dihadapinya. Dengan demikian, BLT juga menjadi instrumen penting dalam membangun pondasi sosial yang kokoh dan keberlanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun