Jakarta (24/8). Teknologi 4.0 yang ditandai dengan pemanfaatan internet dan otomatisasi, mengakibatkan disrupsi pada semua sektor. Persoalannya, tidak semua rakyat Indonesia mendapat penerangan yang baik untuk bisa memanfaatkan teknologi menjadi sesuatu yang bermanfaat. Akibatnya, Indonesia yang majemuk terancam dengan politik identitas.
"Menghadapi disrupsi, kami menginginkan kita semua bekerja untuk masa depan dengan paradigma bersanding, bukan bertanding, apalagi bersaing. Artinya untung menguntungkan di antara kita semuanya, sehingga Indonesia bisa berjalan dengan baik," ujar Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso, saat membuka webinar "Beragama dalam Bingkai Kebangsaan untuk Merawat dan Menjaga Keutuhan Bangsa".
Acara tersebut dilaksanakan DPP LDII bersama Majalah Nuansa Persada Rabu (24/8) di Aula Serbaguna, Kantor DPP LDII, Jakarta. Perhelatan itu diikuti 2.600 peserta yang berkumpul di 265 titik. Para peserta terdiri perwakilan DPW, DPD Kabupaten/Kota, hingga pesantren di lingkungan LDII. Webinar tersebut menghadirkan Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid sebagai pembicara kunci, Lukman Hakim Saifuddin, Ketua PBNU KH. Ahmad Fachrur Rozi, Ketua PP Muhammadiyah KH Syafiq Al Mughni, Romo Franz Magnis Suseno, dan Ketua DPP LDII Singgih Tri Sulistyono.
Menurut KH Chriswanto, keberagaman adalah takdir bangsa Indonesia. Agar perahu yang bernama Indonesia tetap tenang, maka setiap pihak harus mengembangkan toleransi dan saling menghargai. Senada dengan KH Chriswanto, keynote speaker webinar Wakil Menteri Agama (Wamenag), Zainut Tauhid Sa'adi dalam pernyataannya, meminta umat beragama menjadi agen transformasional, yang mampu mengembangkan nilai-nilai spiritualitas keimanan, mental kultural, dan kemanusiaan di kemajemujan.
"Kita sekaligus harus mampu menjaga keutuhan bangsa agar tidak tercerabut dari akar kehidupan, sebagai bangsa yang religius di tengah budaya teknokratis, matrealistis, dan hedonis yang terjadi di sekitar kita," ujarnya. Semua umat beragama, lebih spesifik lagi ormas keagamaan memiliki tempat yang strategis. Mereka berfungsi sebagai tumpuan harapan umat dan mitra pemerintah dalam meningkatkan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara
Secara spesifik, peran dan kontribusi umat Islam, utamanya ormas Islam sebagai penjaga garis kerukunan antar umat beragama perlu ditingkatkan, seiring dengan tantangan dan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia, "Kita semuanya menyadari bahwa faktor pendidikan, ekonomi dan pilihan politik, kerap menjadi penyebab naik turunnya tensi kerukunan, munculnya gesekan, dan keretakan sosial di tengah masyarakat," paparnya.
Menurutnya, pondasi kerukunan dan keutuhan bangsa harus dibangun sejak dari lingkungan keluarga, pendidikan formal, maupun pendidikan informal. Ia berpendapat dalam menyikapi berbagai Isu dan dinamika sosial, "Kita harus bisa menghindari dan mencegah timbulnya gesekan antar sesama saudara kita, saudara sebangsa dan saudara setanah air, maupun saudara seagama yang berbeda pemahaman dan organisasi," imbuhnya.
Menteri Agama RI periode 2014-2019, mengukuhkan pendapat Wamenag mengenai pentingnya menghindari gesekan dalam kehidupan yang majemuk, "Kita menghadapi dua kutub dalam keberagamaan kita, secara sederhana terdapat kutub yang mengedepankan simbol dalam beragama. Kemudian terdapat kutub lain, yang mengedepankan esensi, tidak peduli dengan simbol," tegasnya.
Di sinilah hadir konsep moderasi beragama, yang menarik dua kutub tersebut agar mengedepankan nilai-nilai universal agama untuk kemaslahatan umat, "Sementara masalah-masalah perbedaan atau furuiyah, hanya diperbicangkan di dalam kelompok saja. Dengan masalah perbedaan semua pihak harus lebih toleran," ujarnya.
Sikap yang toleran tersebut, diyakini Romo Franz Magnis Suseno SJ, Guru Besar Emiritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara sebagai penyelamat bangsa Indonesia, "Bangsa ini setidaknya tiga kali terancam perpecahan, namun persatuan selalu menyelamatkan Indonesia," ujarnya saat menjadi pembicara dalam webinar kebangsaan tersebut.
Sumpah Pemuda melahirkan bangsa Indonesia di tengah kolonialisme pada 1928. Lalu Pancasila yang dirumuskan sesaat sebelum merdeka, terbukti menjadi perekat, "Ketiga saya sebagai saksi mata, kala reformasi semua orang mengira Indonesia akan bubar seperti Uni Sovyet, tapi Indonesia bisa keluar dari krisis dalam persatuan dan perdamaian yang mantap," ujar Romo Magnis.