Kanker ekologis yang menyerang elemen vital kehidupan makhluk hidup perlahan menjalar dan mengekang kebebasan ekosistem dan mengakibatkan mega krisis terhadap kehidupan sosial yang ironisnya tidak banyak disadari oleh mayoritas masyarakat. Udara yang hakikatnya menjadi titik penghidupan malah menjadi bumerang yang menyertai berbagai risiko dan memperburuk masalah kesehatan. Udara tanpa polutan memang mustahil. Sebab, ada banyak aktivitas alam misalnya letusan gunung api dan beberapa jenis gas seperti Sulfur Dioksida (SO2), Hidrogen Sulfida (H2S), Florin (F), Klorin (CL) yang 'mengotori' lapisan atmosfer dan mempengaruhi kualitas udara tanpa bisa dicegah. Hanya saja, hal tersebut masih dalam ambang batas wajar untuk dihirup oleh makluk hidup.
Krisis lingkungan yang semakin intensif dalam jangka panjang akan mengganggu kelangsungan peradaban manusia dan ekosistem alam. Emisi karbon diproduksi 75% dari sektor energi termasuk PLTU yang masih menggunakan fosil batu bara. Jika dibiarkan lebih lama tanpa kendali maka efek yang ditimbulkan akan berdampak buruk kedepannya. Menurut PERMEN perindustrian RI No. 54/M-IND/3/2012 "pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) adalah pembangkit listrik yang mengubah energi kinetik uap untuk menghasilkan energi listrik, menggunakan sumber energi utama dari batubara."
Menurut penelitian terbaru dari Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) yang bertajuk "Health Benefits of Just Energy Transition and Coal Phase-Out in Indonesia, sebagian besar pembangkit listrik tenaga uap batu bara milik indonesia secara bebas mengedarkan gas beracun seperti sulfur dioksida dan nitrogen oksida karena tidak memiliki teknologi pengendalian polutan udara. Penelitian itu membawa hasil data yang menunjukkan skala besar polusi udara dan PLTU batu bara bertanggung jawab atas setidaknya 10.500 kematian yang tercatat pada 2022 silam dan biaya tawnggungan kesehatan sebesar US$ 7,4 miliar.
Sebaran polutan beracun yang diemisikan oleh PLTU termasuk partikulat (seperti PM2.5), nitrogen dioksida, sulfur dioksida, karbon monoksida, merkuri, selenium, belerang oksida (Sox) dan arsenik juga CO2 dan polutan radioaktif seperti radionuklida alam berupa kalium, uranium, dan thorium yang merupakan hasil pembakaran batu bara dan menjadi kontributor utama penyebab ragam masalah pencemaran udara terkait lapisan ozon, pemasan global, pembentukan hujan asam sehingga terjadi kerusakan terhadap lapisan struktur lingkungan, material bangunan, maupun gangguan kesehatan manusia. Iritasi terhadap sistem pernapasan kerap kali terjadi akibat polutan SOx yang mengudara. Itu karena emisi dari industri pembangkit listrik yang sebagian besarnya merupakan abu terbang (fly ash) berwujud bahan padat namun dapat terbang terbawa ke udara melalui cerobong, menyebar hingga emisi tersebut harus bersinggungan langsung dengan panca indera. Selain itu terdapat abu bakar (bottom ash) yang umumnya lebih berat namun tidak terbawa terbang melainkan melebur, yang diupayakan untuk tidak berkontribusi merusak lebih banyak sel jaringan hidup lainnya.
Mungkin bagi sebagian besar orang, efek rumah kaca dan perubahan iklim yang begitu signifikan bukan merupakan permasalahan besar hingga sendirinya merasakan bagaimana kondisi ketika menjadi korban. Merasakan bagaimana sulitnya para petani menggarap tanah pertaniannya, modal tani yang digelontorkan dengan harapan panen surplus harus pupus, pemikiran gagal panen efek kemarau dan musim panas yang menyebabkan kekeringan ekstrem berkepanjangan turut menghantui. Selain itu, para nelayan juga harus menelan getirnya efek buruk dari PLTU dikarenakan buangan air panas dari tungku PLTU ke laut lepas membuat hasil tangkapan laut para nelayan menurun drastis. Petani garam juga menyayangkan hasil panen garam yang menurun serupa nelayan dan masyarakat yang mata pncahariannya bertumpu pada hasil laut dan sekitaran pantai.Â
Perubahan iklim di masa transisi juga kerap membawa permasalahan lain. Kemarau dan musim panas berkepanjangan menyebabkan peningkatan suhu yang mengakibatkan kondensasi penguapan uap air relatif cepat. Ketika suhu udara yang sebelumnya meningkat tinggi mulai menurun secara drastis, penguapan uap air yang kemudian mengembun dan membentuk awan berkumpul hingga menghasilkan butiran air hujan yang umumnya deras dengan jangka waktu relatif lama. Kondisi demikian kerap membawa serta banjir, menenggelamkan banyak rumah warga dan menghambat banyak kegiatan terutama aktivitas mata pencaharian. Ada banyak sekali kerugian yang timbul akibat PLTU terutama bagi mereka yang bermukim disekitar pabrik industri dan terpaksa menghirup emisi karbon.
Salah satu langkah yang mungkin dapat ditempuh untuk menggantikan energi fosil seperti batubara adalah dengan menggunakan energi terbarukan karena indonesia punya potensi yang besar untuk itu. Pemerintah indonesia punya komitmen untuk lingkungan bebas emisi (Net Zero Emission) sebagai bentuk keseriusan implementasi ruang lingkup yang sehat sebagaimana hasil kesepakatan negara-negara pada Paris agreement (Nurbaiti, 2022). Hal ini didukung oleh sejumlah kegiatan 'pensiun dini' sejumlah PLTU untuk mmencapai target Indonesia bebas emisi 2060 atau lebih awal.
OLEH
NAMA: ASYANI RAHAYU SIMATUPANG
NIM: 2310861010
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASIÂ