Dalam proses perkara pidana, masyarakat kita terlalu banyak salah dalam berpresepsi. Kesalahan tersebut alamiah lantaran minimnya pemahaman terkait dengan ilmu hukum.
Dalam tulisan ini saya ingin share pengetahuan dan pengalaman terkait dengan dua jenis delik pidana dalam ilmu hukum yakni Delik Biasa dan Delik Aduan.
Pertama. Delik Biasa
Delik biasa atau delik bukan aduan adalah perkara yang dalam prosesnya tidak perlu adanya pengaduan dari korban atau orang yang merasa dirugikan atas suatu tindak pidana. Siapapun dapat dan berhak untuk melakukan pelaporan terhadap suatu tindak pidana yang yang dilakukan oleh subyek hukum, baik itu perorangan atau korporasi. Proses perkara pada delik biasa singkatnya tidak terikat pada siapa yang dirugikan atas suatu tindak pidana.
Siapapun baik masyarakat biasa maupun penegak hukum yang melihat,mendengar, dan mengalami langsung suatu tindak pidana dapat dan berhak untuk menjadi pelapor atas tindak pidana tersebut.
Oleh karena delik biasa tidak terikat pada pihak yang merasa dirugikan, sehingga pada proses hukumnya pun bilamana pelapor mencabut atau membatalkan laporannya, proses hukumnya tetap dilanjutkan oleh penyelidik ataupun penyidik. Singkatnya dicabut atau tidak sebuah laporan tidak berpengaruh terhadap proses hukum yang berlangsung.
Adapun beberapa contoh delik biasa misalnya: Perkara Pembunuhan, penggelapan, tindak pidana asusila terhadap anak dll.
Kedua. Delik Aduan
Delik Aduan pada pengertian hukumnya diartikan suatu delik yang hanya dapat diproses apabila adanya pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan atas suatu tindak pidana tertentu. Delik Aduan secara jelas merupakan delik yang secara terminologi nya berlawanan dengan delik biasa yang tidak mensyaratkan adanya pihak yang dirugikan untuk melaporkan suatu tindak pidana.
Perkara-perkara yang terkategorikan dalam delik Aduan merupakan perkara yang dapat hentikan prosesnya bilamana pihak yang dirugikan mencabut dan membatalkan aduannya atas suatu tindak pidana.
Menurut E. Utrecht dalam _Hukum Pidana II_ mengungkapkan bahwa dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan atau korban.
Dalam delik Aduan terdapat jangka waktu untuk melakukan pengaduan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 74 KUHP yang menerangkan bahwa jika korban berada di Indonesia, pengaduan dapat dilakukan dalam kurun waktu enam bulan. Kemudian, jika korban bertempat tinggal di luar negeri, jangka waktunya adalah sembilan bulan.
Selanjutnya dalam delik Aduan terdapat tenggang waktu bilaman pengadu ingin mencabut pengaduannya. Pasal 75 KUHP menyebutkan bahwa orang yang mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduannya dalam waktu tiga bulan setelah pengaduannya diajukan. Dapat disimpulkan bahwa pengadu tidak dapat lagi mencabut aduannya apabila tenggang waktunya sudah melebihi tiga bulan semenjak aduan diajukan pada penegak hukum.
Soesilo membagikan delik Aduan menjadi dua jenis yaitu delik Aduan absolut dan delik Aduan relatif.
Mari kita uraikan!
Menurut Soesilo delik Aduan relatif adalah delik-delik yang umumnya bukan merupakan bagian dari delik Aduan, namun semulanya merupakan delik biasa. Dapat berubah menjadi delik Aduan dikarenakan suatu tindak pidana yang pelakunya merupakan sanak-sanak keluarga. Misalnya pada tindak pidana pencurian yang korban dan pelakunya merupakan satu keluarga.
Mulanya pencurian merupakan delik biasa namun ada faktor bahwa korban dan pelaku merupakan anggota dalam suatu keluarga sehingga, dapat merubah pencurian yang mulanya merupakan delik biasa menjadi delik Aduan. Sehingga dapat dicabut aduannya oleh pihak yang dirugikan dan diberhentikan proses hukumnya oleh penegak hukum dengan dasar aduan telah dicabut oleh pihak yang dirugikan.
Pada konteks delik Aduan relatif, Soesilo menggunakan bahasa pembelahan terhadap pelaku dalam suatu tindak pidana. Jadi seorang pengadu dapat memilih untuk mencabut aduannya terhadap satu orang pelaku atau beberapa orang pelaku saja bilamana tindak pidana yang dilakukan terdiri dari beberapa orang sekaligus. Misalnya : "A dan B mencuri barang milik ibunya. Setelah melakukan pengaduan terhadap kedua anaknya,  si Ibu hanya mencabut aduannya terhadap si A" Si A bisa bebas dari tuntutan sedangkan Si B harus melanjutkan proses hukumnya.
Dimaksud oleh Soesilo bahwa adanya pembelahan adalah sebagaimana ilustrasi diatas.
Selanjutnya yakni Delik Aduan Absolut adalah delik yang murni merupakan delik Aduan. Bukan merupakan delik biasa yang berubah menjadi delik Aduan karena faktor sanak-sanak keluarga.
Pada delik Aduan absolut, selalu ada tuntutan pada setiap pengaduan. Soesilo menjelaskan bahwa delik ini hanya mutlak menuntut peristiwa yang terjadi. Artinya tidak ada pembelahan.
Artinya jika adanya pengaduan terkait suatu tindak pidana, maka siapapun yang terlibat didalam tindak pidana tersebut harus dituntut sesuai dengan keterlibatannya. Misalnya: "Seorang istri mengadukan si A atas tindak pidana perzinahan dengan suaminya. Maka sang suami juga merupakan pelaku yang dapat dituntut bersamaan dengan si A yang di adukan. Tidak ada alasan bahwa sang istri masih cinta kepada suaminya."
Delik biasa singkatnya merupakan delik yang dapat menjadikan siapapun sebagai pelapor dan proses hukumnya tidak dapat dihentikan sekalipun pelapor sudah mencabut laporannya. Sedangkan delik Aduan dapat dicabut aduannya dan dapat dihentikan proses hukumnya bilamana pengadu mencabut aduannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H