6 bulan sudah kita sedang berjuang melawan melawan virus dan tak kunjung menang,pemerintah mengejutkan kita dengan kabar dilanjutkannya Pilkada serentak di 270 daerah di Indonesia.Hal ini membuat masyarakat Indonesia geram karena sedari awal kinerja pemerintah dinilai lebih condong kepada perbaikan ekonomi daripada pentutasan rantai COVID- 19 walaupun dibantah oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.Kasus ini kian melonjak hingga saat ini, tercatat angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia kini mencapai 12.959 orang. angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia kini mencapai 12.959 orang. Dengan data tersebut, maka kasus aktif Covid-19 di Indonesia kini ada 66.576 orang. Mereka adalah pasien yang masih menjalani perawatan atau isolasi mandiri. Selain kasus positif, diketahui ada 164.346 orang yang saat ini berstatus suspek terkait penularan virus corona .Bahkan sampai sekarang belum ada tanda – tanda puncak penyebaran dan usai nya virus ini.
Selain itu pemerintah dinilai tidak pernah serius memberantas kasus Covid – 19 di Indonesia, dari mulai Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang sangat jarang tampil di publik untuk mempertanggung jawabkan kinerja selama 9 bulan terakhir,sampai harus dibuatkan wawancara ‘ kursi kosong ’ oleh Najwa Shihab dan tidak kunjung muncul juga.Lalu Inkonsistensi pemerintah terlihat dalam kebijakan PSBB yang selalu berubah dari PSBB ketat ke transisi lalu ke ketat lagi yang tidak menunjukkan ketegasan pemerintah dalam membuat suatu kebijakan.Disamping itu pengesahan secara tidak sah Omnimbus Law di masa pandemi ini juga sangat menunjukan sikap tidak acuh pemerintah kepada rakyatnya padahal tujuan awal hukum itu sendiri melindungi dan menjaga rakyatnya.
Melihat data – data diatas , pemerintah menyatakan bahwa Pilkada harus terus berlanjut "Pilkada 2020 tetap sesuai jadwal, 9 Desember 2020, demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memilih," kata Fadjroel .
KPU sebetulnya telah menerbitkan Peraturan (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020 tentang pelaksanaan Pilkada serentak lanjutan dalam kondisi bencana non-alam. Dalam aturan tersebut, lembaga penyelenggara Pemilu itu telah menegaskan aturan mengenai protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19 selama tahapan Pilkada serentak, termasuk adanya larangan mengumpulkan massa dalam jumlah tertentu.Namun seperti yang kita tahu bahwa pengimplementasi suatu hukum di Indonesia tidak seindah teorinya,masih ada saja warga yang engga menutupi hidungnya demi keselamatan mereka sendiri.Selain dari warga, masih banyak juga bakal calon Pilkada yang seakkan –akan buta terhadap aturan seperti tetap mengadakan Pawai, konser musik dan kampanye blusukan .
Hal ini ternyata sejalan dengan yang disampaikan pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno menyebut bahwa pengerahan massa dalam kontestasi elektoral sangat berkaitan erat dengan teori psikologi massa politik. Menurutnya, hal tersebut dilakukan sebagai ajang unjuk kekuatan sebelum bertanding. Pasangan calon yang tidak disokong banyak massa akan dipersepsikan lemah dan tak mendapat banyak dukungan.Sebaliknya, pasangan calon yang didampingi oleh banyak massa akan memberikan pesan betapa kuatnya basis dukungan dan militansi pendukung-pedukung yang mereka miliki. Dampak psikologis inilah yang sebenarnya yang ingin dicapai oleh para bakal calon kepala daerah .Artinya dari segi Psikologi para bakal calon pun tidak mendukung adanya peraturan yang dibuat oleh KPU.
Ahli penyakit dalam dan Guru Besar Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI), Ari Fahrial Syam bahkan meminta pemerintah menunda pelaksanaan Pilkada 2020 lantaran khawatir pesta demokrasi lima tahunan tersebut akan menjadi klaster baru penyebaran Covid-19 .Pilkada itu diikuti dan diwajibkan bagi orang berusia 17 tahun ke atas dan berkewarganegaraan Indonesia, hal ini bisa menimbulkan resiko penyebaran yang sangat parah.Setiap kepala keluarga dan ibu rumah tangga  mendatangi TPU,berinteraksi dengan banyak orang ini bisa  menyebabkan penyebaran Covid-19 di Indonesia masuk ke ruang lingkup keluarga.
Pelaksanaan Pilkada pun akhinya mendapatkan banyak sekali kecaman dari berbagai pihak, pimpinan NU dan Muhammadiyah.Dua organisasi besar yang tidak ada kepentingan apapun selain kesejahteraan masyarakat,ini sudah menjadi modal awal mengapa kita harus terus mengawal penundaan Pilkada ini.
"Di negara-negara yang serangan COVID-nya lebih besar seperti Amerika sekalipun, pemilu juga tidak ditunda. Di berbagai negara juga berlangsung, pemilu tidak ditunda," katanya
Ada benarnya argumentasi dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan ini, tapi jika melihat ke negara luar yang tetap melaksanakan Pemilu di kondisi kritis sepereti ini yaitu Polandia,Singapura, Selandia Baru dan Amerika. Negara besar diatas jelas berbeda kondisinya dengan Indonesia, jika menilik ke Korea Selatan pengimplementasian protocol kesehatan sangat terjamin oleh pemerintah, dari segi kampanye pun wajib dilakukan secara daring dan yang terpenting dari segalanya adalah kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah yang dapat mengatur Pilkada sedemikian rupa hingga tidak mungkin terjadinya kemunculan klaster baru Covid-19 .Berbanding terbalik dengan Indonesia yang tidak diadakannya Pilkada saja, angka kurva Covid  - 19 terus naik.Jumlah pengecekan Covid- 19 kepada masyarakat tidak pernah sampai target.Ini hal yang sangat penting oleh pemerintah kepada masyarakat yaitu kepercayaan.
Maka dari itu, langkah selanjutnya adalah terus mengawal penundaan Pilakda 2020 ini dengan serius atau jika Pemerintah telah konkret mengeluarkan kebijakan pelanjutan Pilkada.Tugas kita sebagai warga negara mengikuti alur secara cerdas dengan selalu #ingat pesan ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H