Masa remaja seringkali disebut sebagai fase perkembangan seseorang menjadi dewasa yang sekaligus rentan terhadap perubahan. Akibatnya, tidak heran jika beberapa kasus kriminal yang tersebar di publik banyak melibatkan remaja. Salah satunya adalah tindakan anarki kelompok -- kelompok "gangster" yang kerap meresahkan warga. Berdasarkan laporan Radar Surabaya (01/12/2022), Polres Pelabuhan Tanjung Perak bersama Subdit Jatanras Polda Jatim berhasil mengamankan tujuh tersangka anggota geng Guk -- Guk yang terlibat dalam penyerangan sebuah pos satpam di Pakuwon City, Surabaya. Saat diinterogasi, tersangka Ardan (21) yang bertindak sebagai panglima geng Guk -- Guk menyatakan bahwa banyak anggota yang terlibat malam itu masih berusia di bawah 18 tahun dan hanya sekedar ikut -- ikutan saja.
Peristiwa tersebut membuktikan bahwa eksistensi kelompok remaja anarki di kalangan masyarakat belum sepenuhnya hilang. Dengan adanya fakta tersebut, terungkap kondisi sosial di kalangan remaja Indonesia yang patut diperhatikan. Berbagai tindakan anarki yang dilakukan remaja memicu pertanyaan terhadap motif dan alasan dari perilaku menyimpang yang mereka lakukan. Tidak terlepas dari itu, asal muasal berkurangnya rasa manusiawi para remaja geng juga ikut dipertanyakan.
Sejatinya, tindakan menyimpang para remaja merupakan dampak dari adanya demoralisasi. Demoralisasi sendiri bukanlah masalah yang asing di Indonesia terutama pada remaja. Menurut Prof. Dr. H. Duski Samad, M. A., demoralisasi atau dekadensi moral adalah keadaan ketika seseorang tidak menjadikan moral sebagai pedoman hidup dalam berbuat. Selanjutnya, seseorang yang mengalami demoralisasi cenderung bersikap tidak acuh terhadap aturan moral dan norma kehidupan. Sikap tidak acuh inilah yang menjadi dasar dari tindakan anarki para remaja yang terlibat dalam kelompok tertentu.
Remaja yang sedang dalam fase rentan dan membutuhkan perhatian berisiko terjerumus ke dalam pergaulan yang merusak untuk mencari perhatian. Pergaulan dalam geng motor yang mengatasnamakan solidaritas menuntut mereka untuk berperilaku buruk dengan imbalan apresiasi dan pengakuan. Perilaku buruk tersebut lama -- kelamaan menjadi suatu hal yang lazim bagi mereka. Akhirnya, remaja yang sudah eksis sebagai anggota geng motor mengalami demoralisasi dan tidak lagi memikirkan rasa kemanusiaan. Bagi mereka, terlibat dalam suatu geng adalah celah untuk memulai hidup baru dan keikutsertaan mereka sebagai anggota geng yang disegani terkesan gagah. Remaja dengan pola pikir negatif seperti demikian mendapat dukungan terus -- menerus oleh rekan mereka selama menjadi anggota geng. Dukungan tersebut mempersulit peran pihak luar untuk mengembalikan moral mereka yang sudah hilang. Terlebih lagi, keberadaan geng -- geng lain yang menjadi oposisi seolah -- olah membuat suasana kehidupan geng seperti suatu peperangan atau konflik, yang di mana penting bagi mereka untuk andil dalam berbagai tawuran dan aksi balas dendam antargeng.
Menurut pendapat Retno Lelyani Dewi, Kepala Biro Psikologi dari Rumah Cinta pada laman bogor-kita.com, kurangnya peran keluarga dalam mendidik anak menjadi salah satu alasan utama remaja bergabung ke geng motor. Ungkapnya, remaja bergabung ke dalam geng karena kurang mendapat sikap hangat dari keluarga. Akibatnya, kondisi psikis mereka yang terlantar beralih ke teman -- teman geng untuk merasakan kehangatan dan kasih sayang. Rasa kasih sayang dalam geng inilah yang mendasari kesetiaan mereka sebagai anggota. Tidak hanya itu, kondisi psikis yang tidak ditangani dengan baik dalam geng juga bepengaruh terhadap seleksi benar dan salah. Dalam lingkungan yang homogen, remaja anggota geng mudah mendapatkan pembenaran terhadap tindakan anarki yang mereka lakukan.
Sayangnya, banyak remaja yang terciduk sebagai anggota geng malah mendapatkan perlakuan buruk oleh orang tuanya. Kurangnya komunikasi dan kepekaan antara orang tua dan anak pasca pemulangan menyebabkan distansi lebih jauh yang mempersulit remaja dalam memperoleh perhatian orang tuanya. Bahkan, tidak sedikit orang tua yang menolak untuk mengakui anaknya seusai tertangkap sebagai anggota geng karena kecewa dan malu. Jika diterima sekalipun, sulit bagi remaja tersebut untuk bersosialisasi dengan warga sekitar akibat status buruk yang dimilikinya. Oleh karena itu, tidak heran jika dijumpai kasus penangkapan orang yang sama oleh pihak kepolisian. Remaja yang sudah pernah terlibat dalam geng seakan terjebak dalam keadaan di mana kepercayaan orang lain terhadap dirinya sudah hilang. Akhirnya, remaja tersebut memilih untuk kembali ke teman -- temannya dalam geng yang dianggap lebih paham akan perasaannya.
Untuk mencegah bertambahnya kasus tindakan anarki oleh kelompok seperti geng motor, masyarakat terlebih lagi orang tua harus aktif dalam menjaga kestabilan mental remaja dengan menunjukkan rasa kepedulian. Remaja yang sedang dalam tahap eksplorasi minat dan bakat perlu didukung serta diarahkan sesuai dengan potensi mereka agar tidak terkecoh dalam pergaulan. Karenanya, peran keluarga dan teman -- teman menjadi faktor penting dalam menentukan arah kedewasaan seorang remaja. Kondisi psikis remaja yang tidak terganggu oleh pengaruh pergaulan bebas akan lebih dewasa dan imun terhadap demoralisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H