Mohon tunggu...
Asya F
Asya F Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Hubungan International

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Studi Kasus Hubungan Internasional Mengenai Krisis HAM di Myanmar dan Peranan Aktor Non Negara

2 Agustus 2023   23:16 Diperbarui: 2 Agustus 2023   23:17 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pembahasan

Dari kedua etnis yang berujung pada pembunuhan serta penyerangan di desa-desa dengan membakar tempat tinggal etnis Rohingya, selain itu muncul juga eksodus atau bermigrasinya warga muslim Rohingya ke wilayah-wilayah tetangga Myanmar hingga saat ini (Febriar, 2016:38). Sehingga konflik tersebut berimplikasi pada banyaknya warga Rohingya yang mengalami diskriminasi, dengan tidak diakui sebagai etnis Myanmar, hingga tidak dapat memperoleh penghidupan yang layak, dan mengalami korban jiwa serta mengalami kerugian dan kerusakan pada rumah dan fasilitas-fasilitas umum seperti masjid, sekolah, dan rumah sakit. Maka dengan berusaha memberikan pemahaman terhadap peran aktor hubungan internasional khususnya INGO (International Non-Governmental Organization) Human Rights Watch (HRW) hadir di Myanmar untuk membantu korban Rohingya. Sebagai organisasi non-pemerintah yang berada pada lingkup internasional dan bergerak pada isu penegakan hak asasi manusia ini mulai ada pada tahun 1978. HRW tersebut pertama kali muncul dengan nama Helsinki Watch yang hadir untuk memantau Uni Soviet terkait kepatuhannya terhadap perjanjian Helsinki yang berkaitan dengan ketentuan hak asasi manusia (Hemetsberger, 2005).

Dalam tugasnya HRW memiliki tujuan yaitu sebagai organisasi yang melindungi hak asasi manusia di seluruh dunia, dengan mengedepankan serta mendedikasikan pada upaya penerapan Responsibility to Protect di sejumlah negara-negara mereka beroperasi. Dengan mengedepankan prinsip-prinsip dasar yang harus dinikmati oleh semua orang tanpa memandang kelas sosial, agama, etnis dan segala macam perbedaan. Hadirnya HRW di dunia juga bertujuan untuk mendukung korban ataupun aktivis untuk mencegah terjadinya diskriminasi, untuk menegakkan kebebasan politik, serta untuk melindungi orang dari perilaku yang tidak manusiawi. HRW yang berperan sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat, atau sebagai organisasi yang bersifat independen dari pemerintah, dan merupakan organisasi non-profit yang tidak menerima dukungan keuangan dari pemerintah tersebut memiliki fokus utama dalam membantu menyelesaikan beberapa kasus yang dihadapi di sejumlah negara, seperti pada isu-isu yang berkaitan dengan HAM.

Keberadaan HRW di Myanmar ini sudah terbilang cukup lama beroperasi di Myanmar sejak tahun 1980an. Setelah Myanmar merdeka dari Inggris, negara tersebut mengalami berbagai tantangan dalam pemerintahan. Puncaknya adalah konflik etnis tahun 2012 yang menyebabkan banyaknya korban jiwa dari etnis Rohingya dan penderitaan hingga saat ini. Hal tersebut kemudian mengundang respon dari masyarakat internasional yang khawatir akan meluasnya dampak krisis kemanusiaan dari tahun-tahun sebelumnya. Respon tersebut berakibat adanya peran dari organisasi-organisasi yang bergerak dalam isu kemanusiaan atau hak asasi manusia untuk tidak tinggal diam salah satunya adalah HRW.

Terkait peran HRW dalam krisis kemanusiaan di Myanmar, HRW menganalisis menggunakan konsep Transnational Advocacy Network (TAN) meliputi information politics, symbolic politics, leverage politics, dan accountability politics.

Information politics tersebut merupakan teknik pengumpulan informasi dan identifikasi isu, serta teknik penyebarluasan informasi ke berbagai pihak sebagai langkah untuk mendukung perjuangan dalam sebuah isu. Dalam melakukan pekerjaannya para peneliti HRW konsisten dalam melakukan metodologi yang sesuai dengan pengumpulan informasi dari berbagai sumber dan dengan penelitian yang berbasis lapangan. Selain itu beberapa peneliti dari staf HRW secara permanen ditempatkan pada tempat yang dekat dengan lokasi fokus kejadian. Hal yang demikian dimaksudkan agar mereka dapat melakukan investigasi lapangan, wawancara dengan korban dan saksi untuk dapat digunakan sebagai pusat pelaporan dan advokasi HRW. Tidak jarang HRW melakukan kerjasama dengan aktivis lokal masyarakat sipil, pengacara, wartawan dan HRW juga mencari kontak dengan para pejabat negara dan pemerintah (Human Rights Watch, 2016).

Symbolic politics sebagai upaya perjuangan sebuah INGO dapat menempuh dengan menggunakan simbol-simbol, aksi-aksi dan cerita atas situasi yang dapat menarik perhatian dan memberikan penjelasan untuk menyakinkan masyarakat agar kembali memberikan dukungan dan memperhatikan issue tersebut. HRW memanfaatkan prinsip-prinsip universalisme HAM sebagai dasar argumennya. Dalam konteks universal, HAM dilihat sebagai hak mutlak yang dimiliki oleh setiap individu. Oleh sebab itu, negara berkewajiban untuk melindungi hak setiap individu yang ada di negaranya.

Leverage politics Keberadaan HRW di Myanmar dalam perjuangkan hak asasi manusia melakukan berbagai penekanan dengan cara mendesak beberapa pihak yang dianggapnya dapat berpengaruh dalam penyelesaian masalah kemanusiaan yang terjadi di Myanmar. Dalam hal leverage politics HRW bersama dengan organisasi-organisasi lain telah membuat surat yang ditujukan kepada United Nation High Commissioner for Human Rights (UNHCHR) berkaitan dengan pelanggaran HAM di negara bagian Rakhine. Surat tersebut dikirim untuk Permanent Representatives of Member and Observer States of the United Nations Human Rights Council. HRW dan organisasi lainnya telah menulis surat guna mendesak delegasi untuk mendukung panggilan oleh Komisaris Tinggi PBB dalam bidang HAM dan memperbarui mandat Pelapor Khusus dalam hal pembentukan oleh Dewan HAM PBB (HRW, 2017).

Accountability Politics berperan dalam melakukan upaya untuk meyakinkan pemerintah dan aktor lain untuk mengubah posisi mereka dalam satu isu. Ketika target telah memberikan komitmen untuk mengubah perilakunya atas suatu isu, maka jaringan kemudian menggunakan posisinya untuk mengamati dan mengontrol jenjang di antara janji dan praktiknya. Taktik yang seperti ini perlu dilakukan oleh jaringan agar tidak terjadi penyimpangan dari komitmen aktor yang ditargetkan.

"Artikel ini sebagai salah satu syarat Tugas II Mata  Kuliah Hukum Bisnis Internasional dengan Dosen Pengampu: Fadlan Muzakki, S.IP., M.Phil., LLM."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun