Mohon tunggu...
Aswin
Aswin Mohon Tunggu... Lainnya - Setiap waktu adalah kata

Berusaha menjadi penulis yang baik

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Iedulfitri, Menang Melawan Kemiskinan

10 April 2024   01:48 Diperbarui: 10 April 2024   02:07 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : Design asof/Ilustrasi

Menjelang 1 Syawal, Hari Raya Iedul Fitri. Hari kemenangan bagi kaum muslimin berperang melawan hawa nafsu (berpuasa sebulan penuh), saya sempatkan kerumah kawan untuk berbagi rezeki-makanan Hari Raya Iedul Fitri. Dan tampak dari kaca luar memandang kedalam ruangan rumahnya, tampak seorang kawan sedang mendekap kedua lututnya. Cahaya rumahnya lumayan sangat temaram. Saya berusaha mengetuk pintu rumahnya, dan mengucapkan salam. Dirinya pun segera bangkit, dan membukakan pintu. Saya pun segera memberikan sedikit rezeki yang sudah diniatkan dan disiapkan dari waktu. 

Seharusnya, kita ummat Islam dapat merayakan hari kemenangannya berperang melawan hawa nafsu (melawan keinginan diri sendiri, individualistik). Kita ummat Islam, begitu sangat peduli terhadap kondisi warga negara luar, misalnya Palestina. Kepedulian itu adalah sangat bagus dan perlu disuarakan. Namun, kita ummat Islam di Indonesia, terkadang seringkali luput pandangannya dari saudaranya ditanah air. Ataukah kita bangsa Indonesia secara umum (memang) telah berkurang, dan bahkan telah kehilangan rasa persaudaraan dan empatinya? Entahlah! 

TAUHID SOSIAL

Dalam ajaran diluar Islam, Nasrani, dikenal istilah membangun kerajaan Tuhan dimuka bumi. Dan menurut seorang sastrawan asal Inggris, Virginia, Wahyu-Tuhan adalah juga daging. Bahwa Tuhan itu bukanlah hal yang abstrak, melainkan Dia harus dipahami secara konkret. Yakni, dalam kontek sosial-kemanusiaan. Bukankah Nabi nabi dan utusan-Nya di proyeksikan untuk membangun kualitas unsur sosial-kemanusiaan. Nabi Ibrahim, diutus untuk memperingatkan tirani politik kekuasaan Raja Namrud, yang cenderung menindas rakyatnya. Begitu pula halnya dengan Nabi Musa, dan seterusnya. 

Membangun dan memberdayakan kehidupan orang orang miskin, anak yatim, janda, dan seterusnya, adalah fatsoen religiusitas yang dibawa oleh Nabi nabi Tuhan. Pola memperdayakan-menindas warga masyarakat dan rakyat adalah suatu bentuk kezhaliman, menghilangkan citra Tuhan sebagai Sang Penguasa, dan Pemberi Rezeki. Dan hal itu, merupakan suatu bentuk kejahatan terhadap nilai nilai Ke-Tuhanan dan kemanusiaan. Bahwa manusia-penguasa didunia meyakini bahwa kehidupan warga negara dan rakyatnya, bisa ditentukan dengan aturan aturan atau kebijakan politik kekuasaan yang berada dalam genggamannya. . Tak perlu lagi aturan aturan Tuhan dan para utusan-Nya, yang mengikat.

Kebijakan politik dan kekuasaan disuatu negara, tentu saja akan membawa konsekwensi terhadap kehidupan warga masyarakat dan rakyat yang dipimpinnya. Apalagi jika kebijakan politik dan kekuasaannya yang bersifat kuantitas, mengedepankan aspek materi. Terkonsentrasikan kepada pembangunan infrastruktur dan sumber daya alam, dan bukan pada aspek manusianya, kualitas. Pendekatan pola materialistik,  ekonomi. Sebagaimana disabdakan oleh Karl Marx, bahwa struktur kehidupan masyarakat akan dapat disesuaikan dengan struktur kehidupan ekonomi didalamnya. 

Pendekatan itu, secara sadar atau tidak telah melahirkan pola hidup warga masyarakat dan bangsa menjadi individu individu yang individualistis,  hedonistis, dan seterusnya. Dan bukan melahirkan individu yang tidak individualistik. Mereka meyakini secara fasih, bahwa kuantitas materi akan mampu mengangkat derajatnya. Dengan kekuatan kuantitas materi yang dimilikinya itu, mereka dapat menikmati waktu senggang, memiliki pendidikan, dan tidak terinjak injak dalam kemiskinan. Bagi mereka, hidup dalam kemiskin dan penderitaan adalah suatu aib, dan noda, atau kotoran yang harus dibersihkan. 

Pendekatan pola kuantitas itu pun telah berdampak pada aspek hukum dan keadilan. Hukum berubah fatsoennya menjadi bersifat kuantitas. Bahwa hukum dan keadilan hanya dapat dilahirkan dari rahim rahim kuantitas. Aparat penegak hukum dapat dibeli dengan sejumlah uang, sehingga hukum dan keadilan pun berpihak kepada kepentingannya, (bisa jadi) kepentingan untuk menindas warga masyarakat, dengan mengambil lahan dan tempat tinggalnya atas nama kuantitas, investasi, dan membangun perusahaan perusahan industri, yang konon dapat segera memicu pertumbuhan ekonomi nasional. 

Kita pun segera dapat mempertanyakan : Bukankah ekonomi nasional kita bangsa Indonesia berdasarkan (ekonomi) Pancasila, yang merujuk pada sila sila yang telah disepakatinya, yakni KeTuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan, Keadilan dan seterusnya. Bukan berdasar pada kepentingan politik ekonomi global-kapitalistis, dan oligarkis. Memenuhi hasrat politik-ekonomi segelintir orang? 

Jika politik dan kekuasan yang lebih mengedepankan syahwat segelintir orang, maka dapat dipastikan negara Indonesia (demokrasi) membelah menjadi dua bangsa, bangsa kaya dan bangsa miskin, seperti yang terjadi dinegara industrialis pertama didunia, Inggris. Dan jika hal itu benar benar terjadi dinegara Indonesia, tentu saja sangat berbahaya dan mengerikan sekali. Kejahatan struktural akan menjadi halal dan dihalalkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun