Demokrasi. Rakyat Indonesia kembali akan mengalami pesta demokrasi. Semua partai politik kembali mulai mendekati menyapa rakyat meminta dukungan agar bersedia memilih dirinya menjadi wakil rakyat di rumah dewan, DPR RI, DPD, dan DPRD. "Suara rakyat adalah suara Tuhan, " demikian mereka secara berjama'ah mengumandangan musik orkestra politiknya. Dan sialnya, setelah mendapatkan kursi di Dewan, mereka mayoritas tidak melayani rakyat (Tuhan), melainkan melayani kepentingan oligarki, elit partai dan pemodal. Rakyat dan Tuhan, hanya dijadikan mesin jackpot (mesin penghasil kekayaan dan jabatan) mereka kaum politisi.Â
Realitas menunjukkan, Â bahwa rakyat Indonesia seringkali mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses layanan politik dan kekuasaan. Padahal hak melayani telah diatur dan diamanatkan oleh Undang undang Dasar 1945. Kebijakan presiden, gubernur, dan walikota, adalah keputusan politik, termasuk lurah, rw, dan rt. Mereka adalah tangan tangan politik dan kekuasaan yang bersentuhan lansungsung dengan kehidupan warga masyarakat dan rakyat Indonesia.Â
PELAYAN POLITIKÂ
Fenomena (diduga) praktek suap-menyuap partai politik melalui (bakal) calon legeslatif kepada warga masyarakat Indonesia, tak terkecuali di Jakarta, telah dilakukan. Beragam pola yang dilakukannya, mulai dari pemberian sembako, minyak sayur, kerudung, dan seterusnya. Dengan melakukan ajangsana ke perkampungan warga masyarkat dengan membawa sedikit kenang kenangan, mereka para (bakal) calon lageslatif berharap warga masyarakat dapat mengingat dan memilihnya pada hari pencoblosan.Â
Sudah bukan rahasia umum lagi, bahwa para ba-caleg membutuhkan tombak tombak ujung menembus lorong lorong perkampungan warga masyarakat dengan membentuk team sukses. Team sukses tersebut, dikelola untuk kepntingannya (ba-caleg). Para team sukses itu (bisa) terdiri dari ustadz dan ustadzah, ulama, tokoh pemuda, dan tokoh masyarakat (RW dan RT). Dan umumnya, mereka (ba-caleg) lebih memilih fokus kepada pengurus RW, lantaran diwilayah tersebut, merupakan pusat kantong kantong suara pemilih. Dan untuk membangun komunikasi kepada pengurus RW dan RT, tidaklah gratis, melainkan ada suatu pesugihan politik terbatas. Suatu persyaratan atau permintaan, ataupun pengajuan untuk dapat membuka komunikasi, sesajennya bisa berupa uang ataupun barang. Jika tidak memgikuti persyaratan itu, maka tabir komunikasi politik akan sangat sulit dibuka.Â
Suatu hari, saya pernah diundang oleh seorang RW untuk hadir dalam acara silaturrahim. Dan saya pun menghadirinya. Diketahui, acara silaturrahim itu digagas dan dilaksanan oleh team sukses ba-caleg. Tak berselang lama, usai melaksanakan shalat Isya, mendadak jalan kearah pulang diblokir. Dan diketahui, ada acara silaturrahim warga masyarakat dan sejumlah pengurus RT dengan ba-caleg yang sama. Sempat terdengar keinginan sang ba-caleg membutuhkan suara sekian, untuk mendapatkan kursi dirumah Dewan. Dan dirinya, meminta dukungan dari warga masyarakat setempat.Â
Birahi politik para (ba-calon) politisi itu lumayan luar biasa tak tertahankan. Mereka berusaha merangsek dan melampiaskan nafsunya untuk dapat menembus masuk dengan cara apa pun melalui jaringan team sukses yang dibentuknya. Meskipun para ba-caleg paham benar, bahwa hasrat birahi politinya itu akan membawa konsekwensi terhadap pendanaan yang akan dikeluarkannya. Dan (mungkin) juga para ba-caleg akan mengalami kegagalan mendapatkan kursi dirumah Dewan.Â
Serupa Tuhan manusia, salah satu team sukses ba-caleg melakukan anjangsana kerumah rumah warga masyarakat (lembaga RW). Selain membangun komunikasi dan silaturrahin, team sukses pun memberikan suatu kenang kenangan politik dari ba-caleg berupa perlengkapan alat alat musik Rebana-Marawis, (mungkin) sebagai suatu bentuk pengabulan atas permintaan yang diajukan sebelumnya. Kalau meminjam istilah leluhur, "Tak mungkin ada asap jika tak ada api". Asap dan api adalah suatu hukum alam yang akan terjadi jika terjadi pembakaran didalamnya.Â
Sebagai pengurus wilayah (RW dan RT) menerima seseorang atau beberapa orang yang datang dan kepengen bersilaturrahim dengan dirinya adalah suatu hal yang dibolehkan. Namun, jika terjadi perbedaan layanan kualitas didalamnya, maka hal itu bisa dianggap keliru dan bisa dipertanyakan maksud dan kepentingannya, baik ekplisit maupun implisit. Seyogyanya, jika pengen ikut bermain politik praktis dan cenderung prakmatis, maka rumah dan atribut sebagai pemimpim wilayah harus ditanggalkan. Karena hal itu, telah melanggar aturan dan kepercayaan yang telah diberikan oleh warga masyarakat sekitar.Â
Jika oligarki sudah berhasil memcengkram pemimpin-wilayah tempat warga masyarakat setempat bernaung, maka perlahan dan pasti layanan terhadap publik pun kelak akan mengalami perubahan.