Mohon tunggu...
Aswin
Aswin Mohon Tunggu... Lainnya - Setiap waktu adalah kata

Berusaha menjadi penulis yang baik

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Wiji Tukul Hilang, Rempang, Kepulauan Galang Meradang

18 September 2023   05:30 Diperbarui: 18 September 2023   06:01 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Design asof12. Penyair Giyanto Subagio, membaca Wiji Tukul, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki / Ilustrasi

Pagi ini, saya sempatkan berolahrga jalan pagi disekitar wilayah. Dan pada satu rumah, terdengar lagu lawas yang dinyanyikan oleh seorang Tommy J Pisa, seketika (berusaha) menggampai kembali masa lalu. Romantisme. Femonena persoalan gelombang waktu itu, pernah disinggung oleh seorang sastrawan cantik berdarah bangsawan, dari Inggris, Virginia Wolf. Suatu tulisan yang disajikan secara tajam dan mendalam dengan menggunakan bahasa yang lumayan sederhana, sehingga publik luas-umum pun dapat memahami psikologi seorang Virginia. Tercerahkan. 

Para ilmuwan dengan latar pemahaman yang berbeda berusaha mengotak ngatik persoalan waktu. Dan mempertanyakan : Apakah waktu itu ada? Ataukah waktu itu tiada? Apakah waktu kemaren, sekarang, dan masa depan adalah benar benar ada? Tesis pun menjelma dan menyebar keruang publik. Bahwasanya waktu itu memiliki sifat subyektif dan sekaligus objektif. Atau meminjam istilahnya, seorang ilmuwan fisika ternama dunia, Albert Einsten, "Waktu itu adalah relatif ". Berbeda dengan kaum ilmuwan fisika, kaum mistis berpandangan, bahwa waktu itu adalah ilusi. Ruang dan waktu adalah isapan jempol, mengada ngada. 

MEMBACA WIJI, MEMBACA PERISTIWA

Sadar atau tidak, kita manusia hidup didalam ruang dan waktu. Empat dimensi. Pergerakan waktu mampu menghadirkan peristiwa peristiwa didalam ruang kehidupan kita manusia : Peristiwa sosial, peristiwa hukum, peristiwa politik, dan seterusnya. Atau menggunakan tata bahasanya Ernest Cassirer, "Ruang dan waktu adalah bingkai kehidupan, di dalamnya segala realitas kita hadapi, tanpa terkecuali". Bahkan lebih ekstrem lagi ialah, ada suatu peritiwa yang tidak kita ciptakan, tetapi kita terseret kedalam peristiwa tersebut. Misalnya, pada kasus hilangnya seorang Wiji Tukul dan Konflik berdarah di Rempang, Kepulauan Melayu Galang.

Dikisahkan, seorang Wiji Tukul, dibangunkan oleh istrinya, setelah istrinya mengetahui berita dalam televisi, bahwa nama suaminya (Wiji Tukul) disebut sebut sebagai orang yang masuk dalam daftar pencarian aparat kekuasaan, tentara dan polisi. Padahal Wiji Tukul, hanya menyerukan dukungan moral terhadap kehidupan buruh yang semakin terpuruk, akibat kebijakan politik yang dibuat oleh penguasa yang berkuasa. Wiji Tukul, (mungkin) tidak mengetahui konsekwensi dari pergerakan yang dilakukannya. Yakni, pemerintah sedang mengedepankan pertumbuham ekonomi nasional dengan pola-penggunaan stabilitas politik nasional. Dan pergerakan seorang Wiji Tukul, akan membawa dampak politik-ekonomi bagi para investor didalam maupun diluar negeri, sehingga pembangunan infrastruktur akan terganggu dan terancam macet, atau mangkrak. Wiji Tukul pun dikejar menjadi binatang buruan kekuasaan. Dan hingga kini keberadaan dirinya, belum juga terungkap jelas. Apakah masih hidup? Ataukah sebaliknya, telah wafat? 

Dan kini, Wiji Tukul lainnya pun telah lahir membela hak asasinya sebagai warga negara di Rempang, Kepulauan Melayu Galang. Warga masyarakat Rempang, tidak mengetahui jika lahan adat yang telah bertahun tahun ditempatinya telah diambil oleh pemerintah, dan diberikan kepada investor, pengusaha raksasa, bernama Tommy Winata, Boss Artha Graha. Warga masyarakat Rempang pun meradang dan melakukan penolakan dan mengadakan perlawanan mempertahankan tanah mereka yang (diduga) diambil secara paksa. Percuma saja, perlawanan warga masyarakat Rempang, akan kewalahan menghadapinya, lantaran sang investor (akan) memggunakan tangan kekuasaan. Dan kekuasaan pun akan menggunakan tangannya mengarahkan para aparat keamanan dengan senjata yang digenggamnya. Mengusir, menggebuk, menangkap, dan (mungkin) akan lebih dari itu yang dilakukan oleh aparat kekuasaan. Kalau kata seorang kawan, lebih baik menggorok rakyat daripada dirinya kelak digorok oleh oligarki, yang telah terlanjur mengasuh dan membesarkannya diruang politik prakmatis, yang cenderung transaksional dan prakmatis. 

Lierasi puisi puisi Wiji, telah berbunyi dan terdengar diruang publik, dan bahkan telah mengusik kekuasaan yang cenderung berpihak kepada segelintir orang. Oligarki. Apakah puisi puisi yang dibacakan oleh kawan kawan penyair memperingati penyair Wiji Tukul di Taman Ismail Marzuki, dapat kembali berbunyi diruang publik dan ruang kekuasaan. Membunyikan luka yang menyayat hati warga masyarakat Rempang, yang terancam tercerabut dari tanah adat dan kebudayaannya, yang kelak akan ditempatkan dirumah susun (flat). Entahlah! Tetapi penyair berambut Merak, Rendra WS, pernah menyinggung Sebelumnya : "Berjuang merealisasikan kata kata". Atau meminjam istilahnya Marleu Ponty, "Mampukah kata kata itu menjelma menjadi daging, serupa wahyu Tuhan. Wahyu Tuhan itu, bukanlah hanya sebatas kata kata, firman, melainkan juga ia adalah daging, yang dapat diraba, dilihat dan dirasakan  oleh ummat manusia, termasuk manusia Indonesia, rakyat Indonesia. 

Dapatlah dicatat, bahwa bahasa dan kata kata bukanlah  letupan angin semata, kosong dan tanpa makna, melainkan ia memiliki isi dan makna didalamnya (kehidupan kita manusia). "Bermula dari Kata, " demikian Tuhan ber-Kalam dalam Surat Cinta-Nya. (al Quran). 

Terkait dengan tirani yang dilakukan oleh  rezim kekuasaan, Wiji Tukul, memgumandangkan keruang publik, "Lawan! "

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun