Sesungguhnya ilmu pengetahuan dan teknologi (science and technology) tidaklah lahir dengan sendirinya, melainkan melalui pergulatan yang panjang dan melelahkan. Seorang ilmuwan Galilleo, sebelum dipulihkan namanya pada tahun 2008, oleh Gereja Katholik Roma, sebagai ilmuwan, pernah menjadi tahanan rumah dan meninggal dunia, akibat penemuannya dianggap telah bertentangan dengan keyakinan atau kepercayaan Gereja-yang terlanjur mengamini teorinya Aristoteles, bahwa bumi adalah pusat.Â
Fenomena fenomena yang berkelindan dialam semesta ini telah merangsang kepengentahuan kita sebagai manusia untuk mempertanyakan : Mengapa dan bagaimana hal itu bisa terjadi. Dan pertanyaan pertanyaan itu pun (kelak) melahirkan ilmu-pengetahuan. Secara fitrah, logika kita manusia menolak segala peristiwa yang terjadi dengan apa adanya. Atau meminjam istilahnya Cak Nur (Nurcholish Madjid), "Don't taken for granted".Â
Proses dialektika dalam kehidupan manusia tidak boleh dihentikan atas nama kepentingan sepihak atau tertentu. Apalagi jika sampai di kooptasi oleh kekuasaan. Maka hal itu, kelak akan melahirkan kebenaran tunggal dan juga kesalahan tunggal bagi kehidupan kita sebagai ummat manusia didunia, Â di suatu negara. Dan tidak tertutup kemungkinan akan kembali lahir negara didunia yang akan menganut sistem teokrasi, monarki, aristokrasi, dan oligarki.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat sekarang ini, tidaklah berdiri dengan sendirinya, melainkan ia didukung oleh kekuatan dan kebijakan politik berskala nasional maupun global. Termasuk penyebarannya, akan melibatkan suatu kebijakan politik suatu negara didunia.Â
Sejumlah antropolog di Indonesia, seperti Koentjaraningrat, Soejadmoko, Mangunwijaya, dan lainnya, pernah mempertanyakan (urgensinya) kebijakan politik suatu penguasa terkait akan adanya transfer teknologi dari negara barat itu. Mereka mempertanyakan persoalan dampak sosial-ekonominya kedepan. Karena teknologi itu berhubungan erat dengan suatu anggaran yang lumayan sangat besar dan juga kesiapan mental rakyat Indonesia. Apakah mentalitas rakyat Indonesia sudah siap menerima (kemajuan) teknologi sebagai hasil terapan ilmu pengetahuan itu.Â
Kaum antropolog (budayawan) yang merasa keberatan akan adanya transfer teknologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara itu, bukanlah hanya letupan angin semata, kosong dan tanpa makna, melainkan memiliki kekuatan isi dan makna didalamnya. Seorang spiritualis kenamaan India, Mahatma Gandhi, pun sempat melakukan perlawanan dengan ideologi kebangsaan.Â
Dampak yang (kelak) ditimbulkannya ialah adanya pergeseran nilai dari tenaga manusia kepada kekuatan teknologi, pengangguran akan merangkak naik secara signifikan jumlahmya, aspek humanitas dan religiusitas pun perlahan dan pasti akan dicampakan dalam kehidupan sekuleritas. Sikap individualistik pun kian menganga dan memgedepan. Materi oriented.Â
MORALITAS KEBANGSAAN
Sebagai salah satu bangsa, maka bangsa Indonesia, tidak bisa menghindari diri dari kehidupan globalisasi dengan teknologi komunikasi dan informasi. Generasi (muda) abad XXI, kehidupannya telah terkoneksi dengan teknologi-digitalisasi. Dan tercatat, bahwa pengguna smartphone di Indonesia melampau negara negara lainnya. Hal itu, merupakan suatu potensi pasar yang sangat potensial bagi perusahaan perusahaan besar berskala global. Karena Indonesia  identik sebagai makhluk makhluk pengguna (konsumeristik) produk global-asing. Sehingga lumayan sangat sulit bagi kita bangsa Indonesia melepaskan diri kebudayaan barat, yang cenderung materialistik, hedonistik, dan permisistik.Â
Manusia dengan kemampuan akal-pikirannya, telah berhasil membuat kecerdasan artifisial, melalui kecepatan teknologi komunikasi dan informasi. Teknologi itu mampu melakukan percakapan seperti halnya kita melakukan percakapan dengan sesama manusia. Dan teknologi itu tak lain ialah Chat GPT. Suatu penemuan baru itu telah digunakan oleh lebih dari seratus juta orang lebih.Â