Bermula dari Angka. Begitu kata philosof Yunani, Phytagoras. Benarkah semesta itu tercipta (bermula) dari angka, seperti yang diungkap oleh sang philosof tersebut? Suatu pertanyaan yang tidak mudah menjawabnya dengan seketika. Namun kita bisa  membaca gejala gejala yang ada atau lahir dalam kehidupan kita manusia untuk menemukan kebenaran teorinya. Apakah jawaban yang kita temukan itu bersifat pasti, atau nisbi, bisa kita uji dalam kenyataannya. Karena sebagai suatu ilmu-pengetahuan, maka terbuka ruang untuk dikoreksi dan diperbaharui kebenarannya.
Jika disadari secara jujur dan terbuka, maka dapat dipastikan kita manusia tidak bisa lepas dari bilangan angka, baik bilangan eksak maupun bilangan abstrak. Dalam konteks bilangan abstrak kita bisa menemukan kesadaran itu dalam ajaran agama. Misalnya, Tuhan itu Maha Esa (Satu, Tunggal). Dan semesta diciptakan-Nya dalam enam masa (hari). Sementara itu, dalam ilmu eksak atau fisika, dapat ditemukan adanya teori Big Bang (ledakan besar). Melalui ledakan besar itu, maka terciptalah (bilangan) kehidupan alam semesta dan segala isinya. Dan teori itu, relevan dan tidak bertentangan dengan ayat-ayat Tuhan yang menceritakan bahwa semesta itu dahulunya berupa asap. Kemudian asap panas itu saling bertemu dan bersentuhan, sehingga berpisah  (terjadilah ledakan dasyat).
MENYETUBUHI ANGKA
Mungkin hanya yang memiliki mata kepala (pikir) yang dapat menangkap (pesan) makna angka. Bahwa angka bukanlah semata-mata jumlah, atau kuantitas materi : Angka satu; angka dua; angka tiga; dan seterusnya. Namun juga ia memiliki semangat dan gairah hidup didalamnya, sehingga secara implisit maupun ekplisist perlu diburu, dicumbu dan bahkan disetubuhi pada setiap hela nafas bilangannya.Â
Namun demikian, struktur mata kepala (pikir) tidaklah berdiri sendiri, melainkan ada yang mendorongnya, yakni hawa (keinginan). Keinginan apa yang mendorong dan menguasainya: Apakah keinginan diri sendiri (hawa nafsu), keinginan bersama, ataukah keinginan Ilahi yang dikedepankannya? Keinginan keinginan itu hadir dalam ruang diri kita manusia, sebagai ruang dialektika kemanusiaan dan keilahiyahan, sehingga dalam ajaran Islam dikenal istilah pasang dan surutnya iman seseorang (hamba Tuhan) dalam kehidupannya.
Kemampuan dalam menghitung bilangan angka menjadi suatu keniscayaan dalam kehidupan kita manusia. Jika seorang arsitek bangunan keliru dalam menghitung kuantitas bahan materi pada sebuah struktur bangunannya, maka bangunan tersebut akan mudah roboh. Demikian pula dengan seorang ahli masak, ia harus mampu menghitung kuantitas bumbu masak masakannya, jika keliru menghitungnya, maka akan mengakibatkan rasa yang tidak nikmat pada menu masakannya. Apalagi jika seseorang yang mengaku politisi, tetapi tidak memiliki kecakapan dalam menghitung bilangan angka pada dirinya dan juga angka angka diluar dirinya, maka hanya akan membuat negara dan demokrasi menjadi semakin keropos, dan akan mudah dihancurkan oleh kekuatan asing. Dan negara serta demokrasi di Indonesia hanya (tinggal) menjadi  situs sejarah bangsa.
Dan political will (keingina atau kemauan politik) harus tetap dinyalakan dan dirawatnya secara baik dan optimal dalam kehidupan berpolitik dan berdemokrasi. Karena political will yang berlandaskan pada undang undang dasar 1945 dan Pancasila adalah bukan perkerjaan yang mudah untuk tetap dapat dirawat dan dinyalakan. Tetapi ia memerlukan suatu usaha keras dan berdarah darah dalam melakukannya. Apalagi dalam politik kekuasaan di Indonesia yang telah, sedang, dan (mungkin) akan terus berjalan, yang lebih berwawasan kapitalis-materialis, seperti mengejar ngejar jabatan dan menumpuk kekayaan, daripada mengedepankan wawasan kebangsaan dan kerakyatan.
Untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan suprastruktur politik dibutuhkan biaya yang tidak  kecil, melainkan memakan biaya yang amat sangat besar. Dapat mencapai ratusan juta, milyaran, dan bahkan hingga mencapai trilyunan rupiah. Belum lagi saat perhelatan demokrasi telah dimulai oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Biaya untuk sosialisasi dan kampanye partai politik keruang publik, akan mengakibatkan kran rupiah akan dibuka deras sederas derasnya untuk mencapai ambang batas parlement.
Dari mana para pendiri (kelak) menjadi partai politik mendapatkan uangnya, yang jumlahnya tidak sedikit itu. Tentu saja dengan mudah menjawabnya : "Para pemodal!". Penyokong dana menjadi rujukan para pendiri partai politik untuk dapat mengejawantahkan keinginannya menjadi suatu lembaga politik, partai politik resmi, legal, sesuai dengan undang-undang. Apakah diharamkan dalam demokrasi kita untuk mendapatkan penyandang dana? Tentu saja tidak. Para pendiri partai politik diberikan kemerdekaan untuk mendekati para pemilik modal agar dapat berinvestasi dalam (perusahaan) Â partai politiknya. Namun demikian, mitra partai pun akan menjelaskan secara eksplisit, bahwa dalam berpolitik itu tidak ada yang gratis. Berbayar.
Para pencari keuntungan (kapitalis) tidak menginginkan kerugian dalam investasinya. Apalagi berinvestasi didalam partai politik dan kekuasaan, jika diketahui partai politik dan calon pemimpinnya itu memenangkan perhelatan dalam pesta demokrasi, maka lembaran perjanjian politik pun akan kembali dibacakannya secara detail, seperti menghitung uang dalam setiap angka nominalnya. Para kapitalis tidak meminta uang dikembalikan uang. Tetapi meminta agar sejumlah lahan dan izin penggarapannya dipermudah semudah mudahnya, hingga usaha yang dibangunnya dapat terwujud sesuai keinginannya. Keuntungan pun berlipat lipat kwadrat. Tak penting lagi kepentingan rakyat. Rakyat akan dperas keringatnya secara berjama'ah oleh kapitalis, oligarkis, elit politik, dan penguasa. Time is money pun menjadi kesepakatan bersama. Perjalanan politik kekuasaan penguasa selama 5 tahun kedepan akan di orientasikan untuk memperoleh keuntungan dan kekayaan sebanyak banyaknya dan berlimpah.