Bacalah! Demikian Malaikat Jibril mendiktekan Wahyu-Nya yang pertama kepada junjungan Nabi Muhammad saw, di Gua Hira. Berkali kali Malaikat Jibril, mendiktekan Wahyu-Nya kepada kepada Nabi Muhammad, hingga akhirnya (Nabi) Muhammad pun didaulat menjadi utusan Allah, sebagai Nabi penutup zaman.
Membaca seyogyanya menjadi budaya ummat Islam didunia, tak terkecuali ummat Islam di Indonesia. "Membaca gejala (fenomena), " begitu kata Nurcholish Madjid (Cak Nur). Ayat bermakna tanda, sign, atau gejala. Membaca ayat-ayat-Nya, berarti membaca fenomena alam semesta dan segala isinya. Didalam Al Qur'an, terdapat ayat ayat kauliyah, dan ayat ayat kauniyah. Membaca fenomena alam semesta dan segala isinya, masuk kedalam wilayah ayat kauniyah. Karena dalam alam semesta ini, tak ada ruang kosong, dan hampa. Ruang gejala, ruang fenomena. Misalnya, ketika kita menekan tutup botol terbuat dari gabus kedalam air, dan saat kita melepaskannya, maka tutup botol gabus itu pun kembali keatas permukaan air. Atau kita dapat melihat dayung sampan terlihat membengkok ketika dikayuh didalam air.
MEMBACA RERUNTUHAN
Secara umum dan juga secara tidak sadar, kita lebih suka membaca secara tekstual, atau harfiah atas setiap yang kita lihat dan saksikan diruang ruang kehidupan. Mungkin (karena) kita malas berpikir atau tak pengen mengerutkan dahi. Padahal setiap peristiwa yang lahir adalah tidak berdiri sendiri. Tetapi ada kaitan dengan peristiwa yang mendahului sebelumnya. Atau kita lebih mengenal dengan istilah : "Tak mungkin ada asap jika tak ada apinya". Tetapi pembacaan yang dimaksud itu adalah jauh lebih menukik kedalam ruang ruang jiwa kemanusiaan (ummat). Bukan bacaan kuantitas, melainkan bacaan kualitas.
Ketika kita melihat atau menyaksikan puing puing bangunan yang runtuh dan terbakar itu, sebenarnya kita sedang diarahkan untuk membaca gejala psikologis-kemanusiaan, ummat didalamnya. Kita diarahkan untuk membaca kedalam pada setiap detail bendanya, seperti batu, kayu, baju, dokument, dan seterusnya. Untuk menghadirkan sebuah bata atau kayu balok itu, warga masyarakat berusaha mengumpulkan uang dengan bersusah payah mengeluarkan keringatnya. Bahkan untuk menghadirkan pasir dan semen membentuk sebuah bangunan, warga masyarakat terkadang harus bergulat dengan rsiko fisik dan nyawa. Katakanlah seorang driver ojek online atau lainnya. Mereka mencari nafkah dengan (mempertaruhkan) resiko fisik dan nyawa di jalan raya, untuk dapat membangun rumahnya lebih layak lagi dan dapat menyekolahkan anak anaknya. Dan saat musibah kebakaran terjadi, upaya yang telah dilakukannya selama berjam jam, berhari hari, berbulan bulan, dan bertahun tahun, hilang begitu saja, menjadi puing puing yang berserakan diatas tanah.
Berbagi adalah upaya yang harus segera dilakukan dalam mengatasinya. Kita harus memanusiakan diri kita sebagai manusia dengan pola berbagi rezeki dan kepemilikan. Memanglah, berbagi tidak dapat menghapus penderitaan mereka para korban. Tetapi dengan berbagi, setidaknya dapat mengurangi kegelisahan dan juga penderitaan mereka. Bahwa mereka para korban musibah kebakaran tidaklah hidup sendiri. Tetapi ada ruang empati dari diri orang orang lain yang berusaha untuk memeluk dan menghapus penderitaan yang mereka rasakan.
Partai Ummat berusaha menghadirkan wajah wajah individu yang tidak individualistik didalam ruang kehidupan sosial dan kemanusiaan. Apakah ada motif politik didalam pemberian bantuan kemanusiaan itu? Suatu pertanyaan yang lumrah dan umum untuk diajukan. Apa pun bisa dipersepsikan secara politik. Tetapi intinya, ruang kemanusiaan sangat perlu dibangun dan dikedepankan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa ditanah air.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H