Saya pun duduk termenung memikirkan tentang apa yang telah, sedang, dan (mungkin) akan terjadi pada bangsa ini. Katanya : Indonesia adalah negara yang sudah merdeka. Namun kenyataannya, Indonesia belum juga bisa berdaulat atas negaranya sendiri.Â
Aneh! Indonesia masih saja menjadi bangsa yang terjajah. Ketika bangun tidur, kita sudah bersentuhan dengan handphone buatan asing; ketika mandi, kita menggunakan sabun dan  pembersih gigi produk asing; ketika hendak pergi keluar rumah, kita menggunakan kendaraan produk asing. Kita bangsa Indonesia semakin sulit saja untuk berdaulat. Sementara itu, kapitalis global kian mencengkram kedaulatan kita bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka, 1945.
Saya teringat dengan tuturan sejarahwan Indonesia, yang menuturkan bahwa dimasa pemerintahan Presiden Soekarno, para kapitalis sudah bergentayangan dihalaman rumah. Dan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, para kapitalis sudah bergentayangan masuk kedalam ruangan tamu rumah. Dan pada masa orde reformasi, hingga kini, para kapitalis sudah masuk kedalam kamar, dan dapur rumah kita, Indonesia. Para kapitalis sudah masuk kedalam rumah kita. Bahkan sudah mampu mengendalikan rumah kita. Tidak hanya sebatas membangun perusahaan dinegara kita. Tetapi juga para kapitalis sudah masuk kedalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tidak hanya berhenti disitu, para kapitalis dan oligarkis sudah masuk mencengkram kemandirian lembaga lembaga tinggi negara dan lembaga politik. Eksekutif, legeslatif dan yudikatif telah dalam kendali para kapitalis global.
Amandemen UUD 1945 adalah pintu terbuka bagi masuknya kepentingan kepentingan asing di Indonesia. Sejumlah perubahan UUD 1945, lebih berwawasan liberal-individual. Dan bukan berwawasan kebangsaan-gotong royong dan kekeluargaan. Lembaga MPR RI (lembaga tertinggi negara) direduksi menjadi lembaga tinggi negara seperti halnya DPR, kejaksaan, dan seterusnya. Tidak ada lagi GBHN dan juga pertanggung jawaban presiden dan wakil presiden dimasa akhir jabatannya di lembaga (tertinggi) MPR RI. Dan pertanggung jawabannya diserahkan kepada rakyat. Dan rakyat pun dapat menolak dan menerima pertanggung jawabannya itu, serta dapat memilihnya kembali dalam pemilu berikutnya.
"Kita adalah bukan bangsa tempe, " demikian Soekarno, menggelorakan semangat kebangsaannya diruang publik luas, untuk melepaskan diri dari penjajahan di bumi Pertiwi. Namun seiring berjalannya waktu, gelora semangat kebangsaan itu pun redup dan nyaris tenggelam dalam kehidupan berbanga dan bernegara. Bangsa Indonesia berubah menjadi bangsa yang ber-'Mental-Tempe'. Membiarkan harga diri bangsa Indonesia di injak injak oleh kepentingan politik dan ekonomi asing (kapitalis global), demi untuk mendapatkan makanan, menambah kekayaan, dan mendapatkan jabatan-kekuasaan.
Masihkan Indonesia ada? Suatu pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Karena untuk menjawab pertanyaaan itu bukan lagi dengan menggunakan silat lidah (retorika). Tetapi dengan sikap dan semangat kebangsaan (yang nyata).
Mudah mudahan bangsa Indonesia tidak dicetak menjadi bangsa yang memiliki 'Mental Tempe'. Biar keluarga Udin saja yang tetap menggeliat usahanya memproduksi tempe kedelai untuk memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia.
Sttt!! "Apakah benar kedelai di Indonesia juga adalah produk asing (hasil import)......?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H