Mohon tunggu...
Aswin
Aswin Mohon Tunggu... Lainnya - Setiap waktu adalah kata

Berusaha menjadi penulis yang baik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Udin Tempenya Diinjak-injak Pemodal Asing

4 Juni 2021   08:08 Diperbarui: 4 Juni 2021   12:58 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto : CNN Indonesia

Usai melaksanakan shalat zhuhur berjama'ah di Masjid, saya pun menyinggahi warteg yang berada dipinggir badan jalan kendaraan lalu lintas. Warteg ini, sudah lama berdiri. Menurut cerita, warteg ini sudah ada sejak masa awal pemerintahan orde baru.

Anehnya, warung tegal ini didirikan bukan oleh orang orang asli Tegal, melainkan asal Kuningan, Jawa barat. Saya tak paham: Mengapa warungnya dinamakan 'Warung Tegal', dan bukan 'Warung Kuningan'? Karena saya tak menanyakannya. Lagi pula pendiri warung tersebut, sudah lama meninggal. Kini, wartegnya diurus oleh anak anaknya.

Dan didalam warteg tersebut, tampak beberapa orang tengah lahap menyantap nasi dan lauk pauk pesanannya. Rasa lapar pun kian mengoyak ngoyak didalam tubuh, meminta segera diamini keinginannya. Didalam etalase kaca warteg tersebut, tampak terhias hanya tersisa perkedel kentang, ikan asin tepung, tahu dan orek tempe manis. Sementara itu, lauk pauk ikan, telur bulat sambal merah, dan ayam goreng  telah habis tak tersisa. Saya pun segera memesan nasi setengah dengan lauk orek tempe dan kerupuk merah didalam plastik, sekedar mengamini keinginan rasa lapar, dan (tentu saja) mengukur kemampuan uang yang ada didalam saku celana.

Tak memakan waktu lama, pesanan pun dihidangkan didepan meja. Entahlah! Tiiba tiba saja pikiran saya terjebak masuk kedalam lorong waktu masa lalu, saat hendak menyentuh orek tempe diatas permukaan piring. Teringat seorang kawan sekolah,  Sekolah Dasar (SD). Udin, demikian nama panggilan akrabnya. Selepas pelajaran sekolah, saya diajak mampir kerumahnya. Rumahnya amat sangat sederhana, terdiri dari kayu bambu dan beratapkan  seng. Dihalaman rumahnya, terlihat sejumlah orang sedang sibuk mengerjakan produksi tempe. Kedelainya ditampik, disiram, dan di injak injak. Aroma air limbah proses produksi tempe itu, benar terasa menyengat dihidung. Baunya tak sedap. 

Dan ketika hendak pamit pulang, saya diberikan beberapa potongan tempe yang telah selesai produksi oleh keluarga kawan saya itu, sebagai oleh oleh untuk dinikmati dirumah bersama keluarga. Belum pamit mengucapkan terimakasih, tiba tiba suara keras menyambar telinga dan menarik kesadaran saya kembali  kedalam masa kini. "Brengsek!! Demikian kejengkelan bersemayam didalam dada. Ternyata, suara keras itu, keluar dari speaker handphone milik pembeli disebelah saya. Dan handphone yang begetar dan berdering keras diatas meja itu (ternyata) adalah produk asing, Samsung.

DIKUASAI ASING

Seperti ruang publik lainnya, keluar dan masuk pun terjadi di warteg tersebut. Mungkin yang datang adalah para pelanggan, pencari makan siang murah, atau (mungkin juga) diwarteg tersebut bisa dihutang pembayarannya.

Memakan nasi di warteg tersebut, terasa berbeda masakannya. Jika di warung Padang dan warteg lainnya, telah menggunakan teknologi modern, seperti kompor gas, magic com, dan lainnya. 

Di warteg tersebut, masih menggunakan dan mempertahankan tradisi lama (manual). Misalnya, untuk menyalakan bahan bakar, mereka harus membelah kayu dan memasukkanya kedalam lubang tungku, lalu disiram minyak, dan kemudian disulut dengan korek api. Dan untuk menanak dan memasak nasi menggunkan anyaman kayu bambu. Dan untuk menaruh serta menyimpan nasi yang telah matang pun menggunakan bakul anyaman bambu.

Udara panas yang mengipas ngipas didalam warteg tersebut, membuat saya merasa gerah dan segera memutuskan pergi meninggalkan. Saat keluar dari warteg, kemacetan kendaraan di jalan raya terlihat begitu panjang dan merayap. Suara klakson kendaraan pun saling bersahutan sekedar meminta kesempatan untuk keluar dari kemacetan yang panjang.  Terik matahari dan polusi kendaraan itu, telah membuat nafas terasa sesak, dan susah untuk  bernafas. Dan tak tahan, saya pun segera memacu langkah dengan cepat untuk sampai dirumah.

Usai mandi dan terasa segar. Saya pun menghampiri sebuah kursi. Duduk beristirahat. Baru saja bersandar di kursi, handphone saya berbunyi diatas meja. Panggilan masuk dari seorang kawan. Saya tak menjawabnya, dan membiarkan panggilan itu mati sendiri. Menyaksikan handphone itu tak lagi berdering, tiba tiba saja pikiran saya berdering, memanggil peristiwa didalam warteg. Sebuah handphone produk asing yang berdering dan menari nari diatas meja makan. Samsung. Handphone itu bernama Samsung. Teknologi komunikasi dan informasi itu, masih membekas kuat dalam ingata-pikiran. Gegera nada dering teknolgi itu, indera saya terpaksa menangkapnya, dan mengirimkan signal gambar itu kedalam syaraf syaraf diotak, dan mengkontruksi menjadi suatu pemahaman tentang keberadaan teknologi tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun