Alhamdulillah, saya termasuk model manusia yang harus selalu berterima kasih kepada Allah. Mengapa? Jawabannya sederhana, saya adalah makhluk ciptaan-Nya. Lebih dari itu, dan lebih dari segala kelebihan yang dianugerahkan oleh Allah, ada satu hal yang dominan yang patut menjadi sebuah motivasi agar rasa syukur saya semakin bertambah dari waktu ke waktu.
Anda bisa membaca Alquran? Pastinya bisa. Itu bila Anda mengaku sebagai seorang Muslim.. ya, karena setiap Muslim wajib mengetahui kitab sucinya sebagai risalah yang disampaikan oleh Rasulullah kepada semua ummatnya. Namun, dalam perjalanan risalah tersebut yang kini sampai ke tangan kita, masih banyak yang belum mengetahuinya hingga pada tahap membacanya. Saya bisa membaca Alquran, bahkan saya bisa melagukannya sesuai dengan kemampuan saya dari hasil belajar membaca Alquran otodidak. Sekalipun bacaan saya masih banyak kekeliruan tapi tetap optimis, saya tidak berhenti belajar.
Ketika masih kecil hingga menginjak dewasa, membaca Alquran bagai momok yang menakutkan bagi saya. Saya sangat kesulitan dalam membacanya, apalagi sampai membenarkan bacaan sesuai hukum tajwidnya. Namun bukan berarti saya tidak belajar dan berguru kepada seorang guru mengaji. Bahkan guru mengaji saya lebih dari satu orang. Kendalanya ada pada kemalasan. Biasalah, masa muda masa yang berapi-api. Semangat hidup luar biasa, namun hanya pada orientasi dunia, dunia remaja. Anda pernah remaja? Tahu sendirilah bagimana “bejatnya” dunia remaja itu.
Dari sekolah dasar hingga sekolah menengah, nilai mata pelajaran Agama saya selalu menduduki poin teratas dari banyaknya mata pelajaran yang tertera di rapor. Tapi jangan salah, saya belum lancar membaca Alquran. Malu rasanya, sudah mulai menginjak dewasa, apalagi pubertas sudah mengiringi, tapi saya belum bisa membaca Alquran dengan baik. Lalu apa yang saya lakukan ketika guru Agama saya memberi tugas untuk membaca Alquran? Saya punya akal untuk menyiasati tugas-tugas seperti itu. Memang, setiap kali ada bacaan Alquran yang tertera di buku paket, sang guru selalu memerinthkan kami sebagai siswa untuk membacanya.
Karena itu, malam sebelum ke sekolah besoknya, teks Alquran yang ada di buku paket, yang akan diajarkan besok, saya tulis secara latin kemudian saya pelajari, saya hapal. Nah, kalau saya dapat giliran membacanya, saya tinggal melafalkan bacaan latin dari Alquran tersebut. Maka, selamatlah saya. Hehehe.
Puas? Tidak. Saya tidak mungkin hidup dari kemunafikan semacam itu. Apa jadinya nanti kalau saya berkeluarga dan mempunya ai anak-anak yang harus diajar membaca Alquran. Apa jadinya pula, bisa suatu waktu saya meninggal tapi tidak bisa membaca Alquran dengan baik? Kok, sudah dewasa tidak bisa baca Alquran. Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui pikiran saya. Saya bertekad untuk berubah, saya harus belajar otodidak.
Hasil belajar otodidak itu, alhamdulillah bisa lebih baik dari sebelumnya. Perubahan yang sangat drastis. Bahkan, kini saya sangat senang bila ada orang yang minta diajar membaca Alquran sebagai bagian dari memasyarakatkan kitab suci ummat ini.
Dalam perjalanan kehidupan saya, ada banyak orang yang telah saya bimbing membaca Alquran, mulai dari mahasiswa hingga pegawai kantoran. Tidak ada bayaran karena semuanya untuk ummat, dakwah, dan mengharap pahala dari Allah. Segmennya pun hanya untuk yang sudah dewasa. Untuk anak-anak, biar orang tuanya saja yang mengajari. Atau lebih baik “diserahkan” ke TPA.
Ya, saya harus banyak bersyukur. Semoga yang membaca tulisan sederhana ini, bisa mengambil hikmah yang banyak. Bagi yang belum bisa membaca Alquran dengan baik, bangkitlah! Kita adalah ummat terbaik yang diciptakan oleh Allah di akhir zaman ini.
Tidakkah kita malu, sudah dewasa, apalagi sebagai orang tua, namun belum bisa membaca Alquran? Ayolah saudara, buka Alquran, pelajari. Bersabar, Allah akan membimbing.
Sahabat, mari mengeja Hijaiyyah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H