“Penemuan psikologi terpenting dalam abad ini adalah penemuan tentang gambaran diri.”
Dr. Maxwell Maltz dalam Psycho-Cybernatics
Berbicara tentang dunia sekolah seakan tidak ada habisnya. Berbagai problematika yang mengitarinya seringkali menjadi hal yang kontroversial. Apakah seorang itu menilai masalah dalam rumah tangga sekolah sebagai sesuatu yang sepele karena sudah merupakan akar dari sejumlah permasalahan pendidikan di lembaga formal dalam tuntunan pendidikan untuk menjadi lembaga penyedia jasa intelektual yang lebih baik, ataukah seseorang itu menilai permasalahan yang ada di dalamnya harus segera dibenahi demi terwujudnya pendidikan yang tidak memborgol masa depan para penuntut ilmu? Untuk memilah win-win solusion, biasanya hal semacam ini bergantung pada persepsi masyarakat, bagaimana mereka menyikapi problematika yang ada dan apa solusi kreatif serta membebaskan yang mereka ajukan.
Dalam beberapa tahun terakhir, permasalahan yang masih saja menggelayuti dunia bermerek embel-embel masa depan cemerlang itu ialah pengamalan, atau lebih tepatnya penerapan pembagian kelas bagi mereka yang dianggap pintar dengan mereka yang mendapat label kurang pintar alias bodoh secara kuantitatif oleh para pendidik di lingkungan sekolah. Tidak menjadi rahasia lagi, ada beberapa sekolah di negeri ini, atau mungkin banyak sekolah yang menerapkan sistem yang tabu ini. Sekolah-sekolah memilah kelas antara siswa yang dianggap pintar karena dari segi nilai berada di urutan teratas atau nilai rata-rata dari kebanyakan teman sebayanya di sekolah. Di sisi lain, mereka abng kurang beruntung karena kadang-kadang atau bahkan sering memperoleh nilai buruk, di bawah rata-rata dari rival kompetisinya dinggap tidak mempu menyerap pembelajaran dengan baik sehingga dilayakkan menempati kelas pembuangan, alias kelas bawah. Suatu potret ketidakadilan dalam dunia pendidikan manakala kepintaran, kecerdasan, keberhasilan, atau apakah namanya hanya diukur dari ketercapaian nilai intelektual yang dapat diserap oleh para pelajar ketika akhir pengumuman nilai tertinggi dalam pembagian laporan pendidikan setiap akhir semesternya.
Secara otomatis, kekeliruan dalam pemetaan kelas atas dan kelas bawah bagi mereka yang dianggap berprestasi secara nilai karena dianggap mampu menyerap mata pelajaran di atas rata-rata dapat menyebabkan tumbuhnya semangat belajar bagi siswa yang berada di kelas atas karena selalu distimulus oleh gelar pintar oleh para pendidiknya. Sedangkan bagi mereka yang berada di kelas bawah akan memacu keminderan dalam berkompetisi karena sudah terlanjur diikat oleh label kurang pintar. Ini juga merupakan stimulus bahwa mereka memang manusia-manusia yang memiliki nilai merosot dan berhak mendapatkan gelar bodoh secara tidak langsung.
Barangkali, salah satu persepsi yang masih dipertahankan, entah untuk membela kekeliruan itu atau hanya sekadar menampik angapan tentang terjadinya diskriminasi dalam dunia sekolah, adalah, bahwa mereka yang ditempatkan di kelas bawah berdasarkan prestasi yang disandangnya akan tumbuh semangatnya untuk belajar lebih giat untuk melampaui keterbatasannya. Mereka ditempatkan pada kelas-kelas yang sesungguhnya tidak membahagiakan bagi jiwanya secara psikologis sehingga memacu tumbuhnya keminderan untuk belajar lebih tekun. Ada argumentasi yang tertanam baik dalam dirinya, yaitu mereka menganggap dan telah berhasil melabelkan diri mereka berdasarkan nilai dan penempatan kelas yang sangat tidka diinginkan sesungguhnya.
Untuk menelaah kebenaran asumsi dasar ini, ada baiknya kita telaah secara mendalam penelitian, lebih tepatnya eksperimen yang dilakukan oleh seorang guru muda yang mengajar di sekolah dasar terhadap murid-muridnya. Eksperimen tersebut mendapat sorotan public pada masanya, dan mungkin saja masih berlaku bagi dunia pendidikan kita dewasa ini.
Dengan persetujuan dari para orang tua, dia memberitahukan hasil ekperimennya berbunyi, “laporan penelitian baru-baru ini telah membuktikan bahwa anak-anak yang bermata biru memiliki kemampuan belajar alami yang lebih besar dari pada mereka yang bermata cokelat.” Guru yang cekatan tersebut kemudian memberikan instruksi kepada murid-muridnya untuk membuat tanda kecil sebagai simbol yang menandakan “Mata Biru” dan “Mata Cokelat” yang kemudian digantungkan di leher mereka masing-masing. Setelah dilakukan ekperimen selama sepekan, tingkat pencapaian nilai anak-anak bermata cokelat merosot tajam dan jatuh dengan mencengangkan. Sebaliknya anak-anak yang bermata biru meningkat dengan begitu pesat. Setelah mengumumkan nilai mereka, sang guru meralat eksperimennya dengan mengatakan bahwa dia telah melakukan kekeliruan. Dia mengumumkan kembali dengan membalikkan asumsi dasarnya yaitu bahwa sebenarnya yang memiliki mata berwarna biru atau terang merupakan murid yang lebih lemah dan anak-anak yang bermata cokelat merupakan murid yang lebih kuat. Gambaran ketercapaian prestasi keduanya pun terbalik. “Mata Cokelat” menunjukkan peningkatan, sementara “Mata Biru” menurun. Inilah yang disebut sugesti.
Dalam pendidikan kita di Indonesia, sugesti sebenarnya telah diamalkan oleh para pengambil kebijakan di sekolah-sekolah, terutama sekolah-sekolah formal. Pemilahan kelas-kelas atas dan kelas-kelas bawah, atau yang lebih tenar dewasa ini adalah kelas-kelas unggulan dan kelas-kelas umum alias biasa. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa mereka yang duduk di kelas-kelas unggulan memiliki prestasi yang tinggi dibandingkan dengan kelas-kelas lainnya. “Aliran sesat” ini sesungguhnya telah berlangsung lama, hanya saja disampaikan tidak secara langsung. Bila ada yang terang-terangan mengumumkannya saat penerimaan laporan pendidikan, itu diluar pertanggungjawaban asumsi ini. Ya, cepatlah bertobat.
Setiap manusia memiliki potensi untuk berhasil, termasuk potensi untuk gagal. Bergantung dari lingkungannya, apakah sugesti yang diperolehnya adalah sugesti positif dan tepat bagi kepribadian dan cita-citanya, atau sugesti yang diterimanya merupakan borgol sehingga mereka tidak dapat berkompetisi karena telah dipasung secara tidak langsung. Inilah barangkali yang menyebabkan, mengapa ada banyak orang yang menghendaki keberhasilan tetapi sangat susah untuk menjangkaunya, padahal mereka sesungguhnya adalah manusia-manusia yang memiliki kepintaran di atas rata-rata. Apakah sugestinya yang keliru? Entahlah.
Yang terakhir untuk masalah ini, telah banyak sekolah yang keluar dari sitem pemetaan yang keliru. Ada banyak potensi keberhasilan bagi mereka yang sedang belajar di lembaga-lembaga formal. Potensi untuk menjadi insinyur, dokter, guru, arsitek peradaban, pakar hukum, penulis, pembicara yang ulung, motivator, entrepreneur, pejabat, dan sebagainya. Itu potensi yang positif. Potensi negatifnya juga tidak kalah banyak, bergantung suplemen yang mereka terima dari arahan pemandunya. Nah, kalau potensi keberhasilan dan potensi kegagalan itu boleh dikatakan seimbang, maka cepat-cepatlah bertobat bila anda adalah pengambil kebijakan dalam masalah ini. Sangat disyukuri, telah banyak sekolah formal yang keluar dari sistem ini.
Untuk ketercapaian nilai yang maksimal, baik nilai yang bersifat intelektual maupun nilai dalam kecakapan hidup yang memberdayakan, berilah sugesti positif yang tepat karena setiap anak lahir dengan potensi untuk menjadi jenius. Potensi yang dimiliki itu kemudian dikontrol oleh system yang berlaku dalam dunia pendidikan. Sehingga memicu anak-anak tidak dapat memanfaatkan potensi kejeniusannya secara bebas, alamiah, dan optimal. Berkaitan dengan kondisi ini, mari kita renungkan kalimat indah Buckminster Fuller, “All children are born geniuses; 9.999 out of every 10.000 are swiftly, inadvertently degeniusized by grownups.” Nah, bagi para guru dan pendidik lainnya, selamat menuntun, “menuntut”, serta mengayomi demi terwujudnya wajah pendidikan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Semoga gambaran fenomena di atas tidak terjadi di lembaga anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H