Mohon tunggu...
Aswar M. Djulaifah
Aswar M. Djulaifah Mohon Tunggu... -

Belajar menulis dan memulung kata. Pengajar di Bintang Pelajar Kota Wisata Cibubur Cileungsi. Mari berbagi kata Hp 085341131191

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Ayah Menantikanmu, Nak!

27 Januari 2014   11:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:25 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1390977096922165553

Seorang bayi yang lahir beberapa pekan lalu terus saja menangis, menggertak kesunyian diiringi nyanyian nina bobo sang Ayah. Ya, begitulah. Hampir tiap malam, bahkan tiap tengah malam, tangisan bayi itu terus terngiang di telinga. Menghiasi kesunyian yang tak berkesudahan. Bahagia nian keluarga yang dikaruniai keturunan.

Anak, bagi orang tua merupakan harta paling berharga dalam hidup. Banyak pasangan yang bertahun-tahun hidup berumah tangga namun kehidupan mereka terasa sunyi, hampa, tanpa tangis bayi di rumah. Kendaraan mewah hingga rumah megah terasa tak punya arti tanpa anak. Apalah artinya hidup tanpa generasi?

Siapa gerangan yang tidak menginginkan keturunan? Semua pasangan, suami dan istri pastilah mendambakannya. Walau pada akhirnya, ada juga orang yang tidak ditakdirkan memilikinya. Ya, keluarga, tetangga, kawan, hingga sahabat sendiri, beberapa di antara mereka tidak atau belum memiliki anak. Semoga Allah lapangkan hatinya dan memberi mereka kelak keturunan yang baik-baik.

Setiap orang dewasa tentu pernah merasakan hidup sebagai bayi. Namun, siapa yang ingat masa itu? Saya sendiri tidak ingat bagaimana keadaan saya saat bayi. Bagimana saya menangis membangunkan Ibunda di tengah malam padahal hanya ngompol atau merengek meminta susu. Atau terisak-isak manja agar mendapat pelukan Ayahanda. Bahkan berkali-kali membuat Ayah dan Bunda terjaga karena “ngambek” tidak mau tidur hingga subuh.

Begitulah kehidupan masa bayi. Kini, mendengar bayi menangis di sebelah rumah, pikiran saya seolah digiring bernostalgia hidup sebagai bayi paling lucu sekampung, bahkan mungkin sedunia. Hidup seperti raja, hanya menangis, semua kebutuhan langusung dipenuhi orang tua. Bahkan mungkin, sesekali Ayah atau Bunda memaksakan diri berutang ke tetangga demi menghentikan tangis yang bertubi.

Dari lahir disambut tangis bahagia keluarga. Setiap orang memandang, saat itu pun berkali-kali pujian dialamatkan. Tak jarang doa-doa mereka lantunkan agar sang bayi tumbuh menjadi anak yang sehat, montok, lucu, saleh, dan sukses. Oh, betapa bahagia menjadi orang tua yang hari-harinya diindahkan dengan kehadiran pangeran atau puteri kecil di rumah tangganya.

Setiap bayi terlihat lucu dan menggemaskan. Inginnya mencium atau kalau tidak menyapih. Biar kecipratan bahagianya. Mengurus segala kebutuhannya terasa ringan walau hidup berkalung susah. Bagi sang Ayah, inginnya bersegera pulang kantror agar bisa bermain dengan bayi lucunya. Tidak jarang pula, perhatian Ibunda berkurang kepada Ayah demi melihat bayi mungilnya tersenyum atau melempar tawa. Ya, begitu senangnya punya anak.

Anda merasakannya? Ya, semoga. Saya pun belum merasakan bagaimana memiliki anak. Ingin rasanya masa itu segera tiba. Ketika anak lahir, orang-orang akan berkata bahwa dia mirip Ibu atau Ayahnya. Mungkin ada yang menyamakannya kepada kakek neneknya. Entah matanya, hidunya, bibirnya, atau bahkan lesung pipinya.

Tidak ada pasangan yang menolak anak bila “diberi” oleh Allah. Kehadirannyalah yang dinanti-nantikan. Tangisnyalah pemecah kesunyian dalam rumah tangga. Ya, semoga, semoga masa itu segera tiba. Masa ketika sang istri harus dilarikan ke rumah bidan atau dirujuk ke rumah sakit untuk segera bersalin. Masa yang dinanti selama berbulan-bulan atau bahkan ada yang menanti menghitung tahun. Masa untuk memecahkan tangis bahagia Ayah dan Bunda.

Belum memiliki anak? Janganlah berputus asa. Nabi Ibrahim dikaruniai anak diusianya yang tidak lagi muda, 90 tahun. Bahkan beberapa kasus, atau mungkin banyak kasus, seorang Ibu baru mengandung dan melahirkan anak pertamanya di usia senja. Hal itu tidak mustahil bagi Allah. Jadi, bersabarlah. Semoga kesabaran itu berbuah pahala dan mengetuk pintu langit.

Tangisan bayi itu selalu saja pecah. Itulah “pekerjaan” anak manusia. Namun demikian, para orang tua tidak pernah bosan mendengarkannya. Bagi mereka, tangisan bayi menjadi motivasi kehidupan untuk menjadi Ayah yang tangguh atau Bunda yang sabar, suplemen jiwa, dan pengubur gundah gulana.

Di awal tahun ini, di penghujung Januari 2014, dengan harap-harap cemas saya sedang menanti kehadiran tangis bayi. Tangisan seperti bayi yang selalu menggodaku di sebelah rumah milik Pak RT. Ya, Pak RT yang istrinya belum lama ini melahirkan anak ketiganya. Membuat saya cemburu. Cemburu karena juga mendambakan lahirnya bayi dari rahim istri tercinta. Bayi yang setiap waktu didoakan kebaikan hidupnya. Bayi yang diimpikan kelak menjadi penghapal dan pengamal Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi. Bayi, yang dari kerja kerasnya kelak melahirkan umat-umat terbaik di masanya. Bayi yang tidak dimiliki oleh semua orang di muka bumi. Ya, semoga.

Rabbi ‘hablii minas-shaali’hiin. Allahumma aamiin.

Ayah menantikanmu, Nak!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun