Membaca judul tulisan ini, mungkin ada yang beranggapan saya ini orang sombong dan suka pamer. Ah, tidak juga. Tetapi saya serius, saya ini orang kaya. Benar-benar kaya. Mengapa? Coba perhatikan harta kekayaan saya yang tidak ada duanya; saya punya rumah walaupun rumah milik orang tua, saya punya kendaraan walaupun milik tukang ojek dan sopir angkot, saya punya rumah sakit walaupun milik dokter. Benar kan, saya orang kaya? Bahkan saya punya hotel walaupun milik pengusaha. Yang hebatnya lagi saya punya kampung halaman walaupun "milik" Pak RT dan Pak Lurah. Lalu apa lagi yang tidak saya miliki untuk disebut sebagai orang kaya? Pakaian ada bahkan banyak dan bagus-bagus. Sepatu? Emm, sepatu saya mengkilap pakai Kiwi. Buku-buku apalagi, menumpuk di kamar saya. Handphone? Jangan salah, handphone saya harganya hampir dua ratus ribu. Sekali lagi, dua ratus ribu rupiah, bukan dollar.
Orang miskin pasti beranggapan, ih sombong sekali orang ini. Kaya kok, dipamer-pamer. Maaf ya. Dengarkan dahulu penjelasan saya. Anda jangan salah sangka. Kalau anda memahami maksud saya, barangkali anda akan mengatakan saya benar. Bahkan mungkin anda juga akan mengatakan kalau anda itu tidak kalah kaya dengan saya. Ah, yang benar? Iya, benar. Sumpah. Sebelumnya baca dahulu cerita berikut ini.
Entah kapan, yang jelas beberapa bulan yang lalu, seorang laki-laki bertengger di pinggir jalan ibu kota. Situasi yang sama barangkali pernah juga terjadi di kota-kota lainnya di negeri ini. Jangankan di sini, di luar negeri sana juga saya yakin banyak. Seorang laki-laki dengan wajah tertutup, lengkap dengan pakaian sederhananya berdiri tanpa malu-malu (ya iya, kan pakai topeng?) dengan sebuah kertas lebar bertuliskan "Jual Ginjal". Ya, anda tidak salah baca. Ada yang mau menjual ginjalnya. Bahkan ketika wawancara di sebuah stasiun televisi swasta dia beralasan menjual ginjalnya untuk kebutuhan hidup.
Kemiskinan rupanya sedikit banyak telah memaksa manusia melakukan apa saja untuk bertahan hidup. Bahkan yang lebih parah, karena kemiskinan, seseorang bisa nekat bunuh diri dan bebas tes masuk neraka (untuk kasus seperti ini belum jelas kesimpulannya, apakah benar masuk neraka karena telah mendahului takdirnya atau masuk surga karena motif lain, entahlah. Saya tidak punya jawaban defenitif untuk kasus bunuh diri ini). Bunuh diri dan masuk neraka itu kata orang banyak. Kalau ada konsekuensi dari ajaran agama yang dianut, itu lain soal. Namanya juga larangan Tuhan. Yang berbuat siap menanggung resiko terburuk sekalipun.
Menyikapi fenomena orang menjual ginjal itu, saya jadi merenung, berapa biaya ginjal yang seharusnya? Seratus juta? Dua ratus juta? Atau satu miliar? Kalau dihitung-hitung, menjual dua ginjal sekaligus berarti bisa dapat dua miliar. Wah, bisa kaya dong. Tapi langsung mati. Anggaplah satu ginjal, jadi harganya satu miliar, ditambah satu biji mata yang harganya sekitar lima ratus juta. Jadi jumlah harga jual untuk satu ginjal dan satu biji mata mencapai Rp 1.500.000.000,-. Ini belum terhitung bila anda menjual organ-organ yang lain yang tentu saja memiliki resiko yang fatal. Nah, makanya kalau mau cepat kaya, silakan berdagang seperti itu. Tidak perlu berutang, apalagi sibuk ke kanan dan ke kiri cari modal untuk bisnis.
Saya harap anda sudah paham mengapa saya juga bisa disebut kaya. Kalau harta yang saya punya yang notabene bukan milik saya saja bisa saya klaim sebagai harta kekayaan, apalagi kalau saya menjual organ-organ tertentu di tubuh saya. Tapi, sebagai orang waras dan warga Negara yang baik (ciyyee) saya masih bisa berusaha mencari nafkah dan tentu saja bekerja keras untuk kebutuhan saya sehari-hari.
"Merasa kaya" bagi saya memiliki pengaruh positif dalam menjalani sketsa atau drama kehidupan ini bahkan memiliki kenikmatan tersendiri. Betapa tidak, Tuhan telah menganugerahkan begitu banyak hal yang saya butuhkan. Bahkan banyak hal yang belum saya minta telah diberikan-Nya dengan cuma-cuma alias gratis. Apalagi kalau saya memintanya dengan sungguh-sungguh dalam doa-doa saya sambil menangis dan bersujud.
Menutup tulisan ini, saya mau menghitung dahulu berapa harta kekayaan saya sebenarnya. Anda jangan kaget kalau ternyata saya ini benar-benar orang kaya, orang kaya sungguhan.
Saya punya tanah untuk berpijar, punya laptop, punya ponsel, punya pakaian yang bisa gonta-ganti, punya buku-buku untuk kebutuhan intelektual, punya kitab suci untuk kebutuhan spiritual, punya makanan dan minuman walau sederhana dan ala kadarnya, punya keluarga yang mencintai saya, punya sahabat yang setia, punya teman-teman yang pintar-pintar seperti anda, punya kendaraan tumpangan, punya raket untuk bermain bulutangkis, punya banyak lah. Bahkan tidak terhitung harta kekayaan saya. Saking banyaknya, mungkin kalau saya sebutkan semuanya tidak akan ada habisnya.
Intinya, semua yang saya miliki adalah pemberian Tuhan yang harus saya syukuri. Berapapun jumlahnya, itulah yang pantas saya gunakan untuk kebutuhan jasmani dan rohani saya. Akhirnya, saya minta maaf, saya hanya becanda bahwa saya orang kaya. Tetapi bila memungkinkan anda menyebut saya benar-benar orang kaya, silakan saja. Minimal saya ini kaya dengan banyak bersyukur. Toh, saya ini bukan orang miskin yang memakan uang rakyat. Nah, kalau korupsi dan bermegah-megah dengan hasil "sunat-annya", itu baru disebut orang miskin.
Apakah anda juga orang kaya seperti saya?