Mohon tunggu...
Aang Sutrisna
Aang Sutrisna Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Short time worker at several development agencies

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Yang Tergusur oleh Perbaikan Layanan KRL Jabodetabek

28 Agustus 2014   14:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:18 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Pedagang kaki lima (PKL), berjualan di sepanjang sisi luar Stasiun Jakarta Kota, Tamansari, Jakarta Barat, Senin (16/6/2014). (KOMPAS.com/Abba Gabrillin)

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi - Pedagang kaki lima (PKL), berjualan di sepanjang sisi luar Stasiun Jakarta Kota, Tamansari, Jakarta Barat, Senin (16/6/2014). (KOMPAS.com/Abba Gabrillin)"][/caption] Combro, kamir, lopis ..... itulah teriakan yang terdengar berulang-ulang menyambut semua penumpang di ujung jalur keluar Stasiun Tebet dari arah Bogor. Ya, hanya suaranya saja yang terdengar sebagai penanda mereka sedang berjualan di balik pagar penghalang dari plastik, seng, dan kain yang sengaja dibuat pihak stasiun. Entah apa niat pasti pengelola Stasiun Tebet, tetapi yang tertangkap oleh otak dan hati adalah untuk menghambat penumpang membeli dagangan mereka. Padahal, mereka hanyalah pedagang kecil yang sudah lama berjualan dari bagian luar stasiun dan tidak mengambil area peron seperti beberapa mini market bermodal besar yang akhir-akhir ini difasilitasi dengan sangat baik untuk berjualan di dalam area beberapa stasiun lainnya. Jenis makanan yang dijual pun jenis yang dibungkus dan dibawa (take a way food) sehingga kecil sekali kemungkinan pembeli makan di tempat dan mengganggu arus keluar masuk penumpang. Fenomena tersebut, bersama dengan serangkaian kejadian lain akibat dari kebijakan PT KAI dalam upaya peningkatan kinerja, memberikan kesan yang sangat kuat seolah PT KAI ingin meninggalkan rangkaian gerbong rakyat kecil dalam usaha mencapai tujuan koorporasi yang berbau kapitalis. Padahal PT KAI sejatinya adalah perusahaan rakyat yang menerima lebih dari Rp. 700.000.000.000,- dana Public Service Obligation setiap tahunnya. Di mana di dalamnya ada uang pajak rakyat kecil yang kebanyakan membayarnya sebagai bentuk ketaatan memenuhi kewajiban tanpa menyadari haknya untuk diikutkan dalam gerbong pembangunan nusantara yang adil. Selain para pedagang tersebut, puluhan rakyat kecil yang berjualan di Stasiun Gondangdia juga merasakan pahitnya kebijakan perusahaan yang pada dasarnya milik rakyat sebagai pemilik utama saham negara ini. Menjelang bulan Ramadhan tahun lalu, para pedagang di Stasiun Gondangdia harus terusir dari lantai dasar stasiun tersebut dan menyaksikan arogansi pengelola perusahaan rakyat menjadikan tempat mereka berdagang sebagai lahan kosong nan gelap dan tanpa manfaat selama berbulan-bulan setelahnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa kinerja manajemen PT. KAI sudah menjadi jauh lebih baik akhir-akhir ini. Tidak hanya kinerja keuangan dan indikator sukses sebuah korporasi pada umumnya, peningkatan kinerja PT. KAI juga menyentuh layanan langsung pada sebagian pelanggan setianya. Ya hanya sebagian saja memang, dan utamanya adalah penduduk megapolitan Jabodetabek dengan strata sosial menengah ke atas, termasuk saya. Setiap harinya saya menerima subsidi ongkos naik KRL Bogor-Jakarta pp sebesar Rp. 13.000 (dulunya Rp. 22.000 dan sekarang hanya Rp. 9.000 saja) atau rerata Rp. 260.000 per bulan dengan asumsi 20 hari kerja ke Jakarta. Nilai subsidi tersebut 1.7 kali lebih banyak dari nilai subsidi negara kepada rakyat miskinnya dalam bentuk bantuan langsung tunai senilai Rp. 150.000 per keluarga per bulan yang hanya diberikan sewaktu-waktu tanpa arah dan tujuan yang jelas untuk pembangunan nusantara yang adil Nasib penumpang KRL Jabodetabek dengan strata ekonomi menengah ke atas yang menerima subsidi berupa pengurangan tarif juga berbanding terbalik dengan nasib penumpang KRL miskin yang dipaksa harus membayar dua - tiga kali lebih mahal, dari sebelumnya Rp. 1.500 menjadi Rp. 4.500 untuk rute Jakarta - Bogor. Lebih tidak adil lagi bagi para pedagang buah dengan pikulan yang tidak dapat naik KRL untuk membawa dagangannya seperti dulu dan dipaksa menggunakan moda transportasi lain yang berpuluh kali lipat lebih mahal dari tiket kereta...... Melihat fenomena ini jadi teringat lagu bang haji Rhoma Irama (Yang Kaya Makin Kaya) dan Iwan Fals (Ujung Aspal Pondok Gede) yang meledak 20 tahun lalu tetapi tetap relevan dengan nasib para pedagang kecil mantan pelanggan KRL dan pedagang kecil yang berjualan di sekitar stasiun saat ini..... Sehingga wajarlah bila rasio perbedaan pendapatan antara yang terkaya dan termiskin di nusantara semakin melebar.....

14091864841111237703
14091864841111237703

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun