Mohon tunggu...
Astuti Yuli
Astuti Yuli Mohon Tunggu... -

mengajar dan mencintai dunia pendidikan, bermimpi karena dengan bermimpi kita punya kenyataan....tuk wujudkan impian... berkebun...meski dengan lahan mungil karena dengan berkebun kita selamatkan bumi kita sejak dini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumput Gulung

18 Mei 2012   11:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:08 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sepanjang hamparan pasir di desaku penuh dengan rumput yang sangat unik, yah itulah rumput gulung. Rumput gulung selalu tumbuh lebat saat musim hujan, dan juga tumbuh menjalar pada permukaan pasir dekat pantai. Rumput gulung selalu bertebaran jika tertiup angin dan bergulung – gulung di hamparan pasir yang berbukit – bukit. Sulit untuk di kejar jika ia sudah tertiup angin. Anto anak kecil itu yang selalu mengejar –ngejar bunga rumput gulung di atas bukit – bukit pasir, hingga lutut dan bajunya penuh dengan pasir, namun ia tetap tertawa riang. Badannyapun selalu berlumuran pasir dan kandang terlihat dekil, namun anto anak yang lucu, semangatnya tak pernah surut meski sampai berkali-kali ia tak mendapatkan si rumput gulung.

Rumahku memang dekat dengan pantai, hanya 100 meter dari bibir pantai yang bergelombang tinggi itu. Bukit- bukit pasir yang terbentuk karena hempasan angin yang membentuknya membuat ratusan rumput gulung itu seperti hamparan karpet yang berwarna kuning keemasan. Biasanya aku selalu mengumpulkan bunga – bunga dari rumput gulung untuk menjadi mainan. Selepas mengaji aku dan beberapa temanku membuat api unggun yang terbuat dari bunga – bunga rumput gulung.

“Anto, bawa rumput gulung itu yah...”! Antopun dengan senangnya membopong beberapa bunga rumput gulung di tangan- tangan mungilnya.

“Mba ini rumput gulungnya”, kata si bocah mungil.

Terdengar teriakan Boni,”aku punya satu lagi yang besar pasti nanti bunyikan keras kalau di bakar”.

Memang lucu dan menyenangkan, bermain bunga rumput gulung karena setiap terbakar ia selalu berbunyi pletek – pletek, semacam bunyi petasan kecil. Aku sungguh menikmatinya, kadang juga di tambahin dengan membakar singkong dari kebun ayahku, yang rasanya emmm yummmy....singkong yang putih dan lembut bak mentega yang baru di buka dari wadahnya. Hempasan angin laut yang kurasakan semakin kencang, aku dan teman-temankupun segera masuk rumah untuk melanjutkan aktivitas yaitu belajar. Memang di kampungku jam belajar adalah pukul 08.00 WIB. Semua anak tidak ada yang bemain semua belajar demi menggapai cita- cita mereka, termasuk aku yang ingin menjadi guru. Yah aku selalu bermimpi menjadi seorang guru yang bersama anak – anak kecil aku bermain dan belajar. Guru adalah panggilan jiwaku dan cita – cita kedua orangtuaku. Setiap sore sebelum Maghrib aku selalu membimbing anak – anak seusia Anto untuk mengaji di masjid. Bersama Tur dan Atun aku selalu memberikan apa yang bisa aku ajarkan untuk anak – anak kampungku, mengingat usiaku masih kelas VI SD.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun