Mohon tunggu...
ASTUTI MPd
ASTUTI MPd Mohon Tunggu... Guru - Pengawas Sekolah Disdikbud Kota Palu

Saya adalah seorang guru yang kemudian beralih menjadi seorang pengawas sekolah. Saya punya hobi tulis menulis. Saya akan terus belajar dan melatih diri untuk menulis agar itu bisa menjadi sebuah 'habit'. Semoga melalui blog ini saya bisa belajar dan mengembangkan diri dalam dunia tulis menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dia Selalu di Hati

27 Mei 2023   14:12 Diperbarui: 27 Mei 2023   14:24 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tulisan sederhana ini menggambarkan perjuangan seorang ibu dalam kehidupannya yang penuh tantangan. Dalam perjalanan hidupnya ibu Rafiah sengaja atau pun tidak telah membekali Asti anaknya dengan berbagai prinsip hidup yang harus dipegang di dalam menjalani kehidupan yang mau atau tidak akan tetap menjadi tanggung jawab pribadi baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Ketika  zaman saya masih duduk di bangku sekolah dasar beberapa puluh tahun yang lalu bila mendengar atau membaca kata ‘pahlawan’  maka yang sering muncul di benak saya adalah’ seseorang yang punya jasa besar bagi bangsa dan negara’ dan fotonya seperti yang ada dalam buku pelajaran. Kini pemahaman akan kata pahlawan tadi telah mengalami pergeseran dan perkembangan yang begitu luas. Sehingga konotasi kata pahlawan bisa diberikan kepada siapa saja yang punya jasa karena sebuah perjuangan atau pengorbanan untuk kehidupan orang lain di luar dirinya. Dengan demikian seorang ‘pahlawan’ itu  bisa ada dimana-mana. Dia bisa berasal dari keluarga, organisasi, lingkungan sekitar, lembaga pemerintah dan non pemerintah serta berasal dari masyarakat luas  pada umumnya.

 Yah, dari pemahaman inilah dengan kerendahan hati saya mohon izin untuk menyampaikan sebuah cerita yang bersumber dari kisah yang sesungguhnya (kata orang sana sih‘true story’)

Sejak kecil Asti  hanya tinggal berdua bersama ibunya di sebuah kota kecamatan yang jarak tempuh ke ibu kota kabupaten hanya sekitar 20 kilo meter. Daerah ini terletak di sebuah lembah di bagian tengah pulau Sulawesi. Iklim tropis yang cukup menyengat setiap hari telah menjadi bagian kehidupan masyarakatnya. Namun, kata para pelancong atau traveler yang pernah berkunjung ke lembah ini ‘tempat inilah satu-satunya yang memiliki view tiga dimensi: dimensi pantai,darat dan pegunungan’ dalam satu kesatuan. Mungkin bisa disebut dengan lembah three in one karena sekali memandang ke lembah ini maka ketiga nya langsung tampak. Yah, di sinilah tempat tinggal Asti di tengah –tengah keluarga besarnya  yang memang penduduk asli di kampung itu.

Meski tinggal di tengah keluarga, ibunya Asti sebut saja ibu Rafiah tidak pernah mau bergantung kepada mereka dari segi apa pun. Beliau memang sudah lama tidak tinggal bersama suaminya, bahkan si Asti kecil tidak pernah mengenal wajah ayahnya sejak lahir. Ayah Asti katanya pergi merantau ke pulau Jawa dan sudah menetap di sana selama ini bersama keluarga barunya. Jelasnya, ibu Rafiah adalah seorang ‘single parents’

 Kondisi hidup yang menantang membuat ibu Rafiah tergolong ‘wanita keras’ terutama dalam hal prinsip hidup yang dipegangnya, dimana dia harus mandiri dan ingin punya pekerjaan tetap seperti kebanyakan saudaranya. Dengan bermodalkan tekad yang kuat walhasil ibu Rafiah yang tadinya hanya seorang penjual cendol dan pisang goreng bisa menjadi seorang guru setelah sepuluh tahun kemudian (saat itu Asti masih TK).

Tercapainya harapan itu bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Begitu banyak onak dan duri yang beliau alami selama perjalanan hidupnya. Banyak keluarga yang menentang niat kuat ibu Rafiah untuk lanjut kuliah lagi mengingat biaya yang  dibutuhkan cukup besar dan kehidupannya juga yang tanpa suami serba pas-pasan.  Tapi ibu Rafiah tetap berusaha bagaimanapun caranya agar bisa mewujudkan impiannya. Prinsipnya ‘kalau mau sekolah atau kuliah yang utama adalah kemauan biaya nomor dua’. Itulah kalimat ibu Rafiah yang hingga kini menjadi ajian penguat bagi Asti untuk menjalani hidup yang juga hampir mirip dengan kisah ibunya (rupanya yang namanya ‘karma’ itu tetap ada?)

Pengorbanan ibu Rafiah memang tidak bisa dinilai dengan uang atau yang lainnya, apa pun itu. Beliau sanggup untuk tidak menikah lagi sampai akhir hayatnya demi Asti. Beliau tidak ingin Asti menderita seperti dirinya terutama dalam hal pendidikan. Lebih dari itu beliau tidak suka terlalu diremehkan atau istilah orang sana ‘dipandang enteng’. Faktor inilah yang memacu ibu Rafiah untuk  ‘memperbaiki nasib. Bukankah  sudah ditegaskan dalam kitab suci bahwa’ Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika kaum itu tidak mau merubahnya sendiri’

Untuk urusan sekolah ibu Rafiah begitu konsisten dan perhatian dengan Asti. Maklumlah, beliau kan juga seorang guru. Mana mungkin bisa mengurus ratusan anak orang lain tanpa bisa mengurus anak yang hanya semata wayang. Ketika surat penempatan beliau sebagai seorang guru negeri terbit, ibu Rafiah dan Asti menetap di ibu kota kabupaten karena memang sekolah yang akan beliau tempati terletak di tengah kota. Pada saat itu Asti baru menamatkan sekolah dasar nya di kota kecamatan. Lalu di tempat yang baru Asti dimasukan dalam sekolah favorite sejak bangku SMP sampai SMA. Meski Asti terkadang risih dan minder bergaul dengan teman-temannya  anak orang gedean kala itu. Namun ibu Rafiah selalu memotivasi Asti untuk terus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah dimana dia belajar. Toh di sekolah yang dilihat bukan kaya miskinnya seseorang, yang utama ‘otak’ (prinsip ibu Rafiah yang selalu ditanamkan pada Asti agar tidak minder)

Setelah pindah ke ibu kota kabupaten Asti dan ibunya tetap tinggal berdua. Kemana-mana selalu berdua. Tidur, makan, duduk-duduk santai dan juga bila mengerjakan pekerjaan sehari-hari selalu hanya berdua. Kalau ibunya keluar rumah untuk sebuah keperluan Asti tidak pernah tinggal alias selalu ikut sama ibunya. Demikian pun Asti, ia jarang pergi main ke rumah temannya atau sanak family yang lain bila tanpa restu dari ibunya. Wah, pokoknya serba jadi ‘anak mama’. Keadaan ini sesungguhnya membuat Asti secara sosial kurang bisa mandiri karena terlalu dan selalu di samping ibunya. Sampai pada suatu ketika ternyata ibu Asti divonis dokter mengidap penyakit kanker payudara dan harus dioperasi.

Sejak saat itu ibu Rafiah terus berpikir dengan kondisi penyakit yang dideritanya. Lebih lagi Astilah yang paling menjadi beban pikirannya. Betapa tidak! Asti yang selama ini belum mengetahui bagaimana hidup yang sesungguhnya lambat atau cepat akan kehilangan ayah,ibu, sahabat dan sekaligus pelindungnya. “Asti nanti dengan siapa bila aku pergi untuk selamanya” itulah pertanyaan yang selalu diucapkan ibu Rafiah pada rekan sejawat ataupun keluarga yang datang menjenguknya  di rumah sakit. Asti polos dan belum mengerti apa dan bagaimana nanti yang akan terjadi hanya terlihat bingung dan sering menerawang tidak jelas hingga hasil ujian akhir SMA nya kala itu menurun drastis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun