Kugenggam tangannya yang dingin, entah karena suhu tubuh atau pendingin ruangan ICCU ini aku tidak tahu. Kubisikan kalimat-kalimat cinta ditelinganya. Kuceritakan tentang Rara dan Dimas anak-anak kami, tentang peristiwa yang kualami sepanjang hari tadi, tentang berbagai hal yang tak mungkin dilihatnya selama sebulan terakhir.
Diawali dengan pingsan hari itu-sepulangnya dari kantor-aku tak menyangka akan selama ini tak melihatnya di rumah. Akhirnya rumah sakit menjadi tempatnya beristirahat, ditemani selang-selang yang menolongnya hingga hari ini. Ada pembuluh darah yang pecah di otaknya, hanya itu yang aku ketahui. Selebihnya istilah medis yang sangat rumit untuk dipahami oleh awam macam aku.
Masih lekat dalam ingatan, saat pertama kali bertemu dalam perjalanan jakarta - Yogya duapuluh tahun lalu. Diawali senyum manis-yang takkan pernah kulupa sepanjang hidupku-obrolan mengalir. Ternyata dia yuniorku satu almamater tapi saat aku lulus dia baru masuk, jelas saja kami tidak pernah bertemu di kampus. Dan itu awal dari perjalanan cinta indah kami hingga menikah dan dianugerahi Rara dan Dimas.
****
"Yah, siapa diantara kita yang akan lebih dulu dipanggil Tuhan ?"
Aku terkejut, pertanyaan yang terucap dari bibir Swasti istriku sepulang kami mengunjungi seorang sahabat yang istrinya meninggal hari itu.
"Bun, mungkin aku duluan ya ? Kan aku lebih tua, rambutku juga sudah mulai beruban." Sahutku sekenanya.
"Hehehe........masa sih, Yah. Gimana kalau aku yang duluan ? "
"Jangan dong, Bun. Nanti siapa yang mengurus aku dan anak-anak ?"
Dia tersenyum, "Ayah cari pengganti bunda dong, yang cantik, baik dan mau merawat anak-anak juga."
"Berarti kalau aku yang lebih dahulu, kamu akan cari pengganti juga ?"